Jumat, 23 April 2010

Urgensi ijtihad dalam Pengembangan Hukum Islam

A. Pendahuluan

Islam sebagai sebuah agama menawarkan sebuah konsep universal, segala sesuatu sudah diatur oleh Islam secara komprehensif, mulai dari hal terkecil sampai dengan sesuatu yang yang sifatnya diluar jangkauan manusia (ghaib dan metafisik). Seiring dengan masuknya agama Islam di Indonesia, hukum Islam mulai digunakan sejak itu sampai sekarang, bukan hanya pada tataran simbol akan tetapi sampai pada tataran praktis. Keberlangsungan itu cukup lama, sebelum Belanda dan Portugis masuk untuk menjajah Nusantara hukum Islam sudah dipakai di Indonesia. Bahkan mengalami kemajuan ketika umat Islam memegang kekuasaan politik di Nusantara, dengan ditandai bebarapa kerajaan Islam diantaranya ialah kerajaan Demak, Samudra Pasai, Banten dan lainya.[1] Pada saat itu bahkan sampai sekarang, hukum Islam sudah hidup ditengah-tengah masyarakat Indonesia (living law) dan menjiwai bangsa Indonesia.

Hukum Islam, pada era reformasi sekarang sudah diakui sebagai sebuah sub sistem yang mempengaruhi sistem hukum nasional disamping sistem hukum adat (adatrecht) dan sistem hukum barat. Oleh karena itu hukum Islam memiliki peran yang cukup signifikan didalam pengembangan dan pembangunan hukum nasional. Dari ketiga sub sistem nasional diatas, hukum Islamlah yang banyak mempengaruhi sistem hukum di Indonesia, karena hukum Islam yang bersifat holistik, komperhensif mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, pun juga masyarakat Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan hukum Islam, yang mayoritas memeluk agama Islam yang setiap harinya tidak terlepas dari pelaksanaan dan pengamalan hukum Islam.

Maka segala sesuatu yang baru muncul, yang membutuhkan legalitas hukum terkait dengan permasalahan-permasalahan kontemporer yang dihadapi oleh umat, sekiranya perlu didapatkan sebuah kejelasan hukum. Maka dari itu, umat Islam perlu mencarikan solusinya, yang merujuk kepada al-Qur’an dan As-Sunah. Kalaupun tidak dijumpai didalamnya, maka umat Islam pun berusaha mengali hukum dari kedua sumber tersebut tentunya dengan metode sistematis yang telah disepakati (ijma’). Hal inilah yang dinamakan dengan ijtihad.

Ijtihad sebagai kata dalam bahasa arab berakar dari bahasa al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya, kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqah (kesuliatan, kesukaran). Sedangkan ijtihad dalam artian terminologi ushuliyin adalah pengerahan kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at. Dalam arti luas atau umum, ijtihad juga digunakan dalam bidang-bidang lain agama. Misalnya, Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa ijtihad juga digunakan dalam bidang tasawuf dan lain-lain, mengatakan: “sebenarnya mereka (kaum sufi) adalah mujtahid-mujtahid dalam masalah-masalah kepatuhan, sebagaimana mujtahid-mujtahid lain….” “dan pada hakikatnya mereka (kaum sufi di Bashrah), dalam masalah ibadah dan ahwal (hal ihwal) ini adalah mujtahid-mujtahid, seperti halnya dengan tetangga mereka di Kuffah yang juga mujtahid-mujtahid dalam masalah hukum, tata Negara, dan lain-lain”.[2]

Sejarah mencatat, umat Islam melakukan ijtihad pada pertama kalinya yaitu dalam permasalahan penganti nabi Muhammad SAW. sebagai khalifah atau kepala Negara setelah beliau wafat. Kemudian setelah menjabat sebagai kholifah, Abu Bakar menghadapi suatu masalah, sebagian orang Islam tidak mau membayar zakat setelah Nabi Muhammad wafat, kemudian ia menyelesaikan masalah itu dengan ijtihad.[3]

Dalam Islam, ijtihad adalah sebuah persoalan yang tidak akan pernah berhenti, yang ramai mulai zaman dahulu sampai dengan zaman sekarang. Ijtihad adalah sebagai sebuah upaya pembaharuan dan pengembangan hukum Islam yang memiliki sifat dan karateristik tersendiri diantaranya, ta'amul (sempurna), wasathiyah ( harmonis) dan harakah (dinamis). Ijtihad, merupakan sumber ketiga ajaran Islam.

Sifat harakah atau dinamis yang dimiliki oleh hukum Islam inilah yang mampu mengakomodir dan merespon dan menjawab segala persoalan yang tidak ditemukan dari sumber utama hukum Islam sebagai dampak dari perubahan dan kemajuan social yang tidak bisa dielakkan.[4]

Uraian diatas sebenarnya mengerucut pada pembahasan mengenai pentingnya ijtihad dan urgensinya dalam kehidupan kita, sebagai upaya pembumian syariat Islam yang kita yakini sebagai manhaj hidup. Dengan ijtihad, maka syariat Islam selamanya akan terlihat eliminer dalam berbagai ruang dan waktu. Tak ayal, ijtihad di era kontemporer adalah suatu keniscayaan.

B. Perubahan Sosial Dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam

Hidup bermasyarakat merupakan salah satu fitrah manusia yang telah dibawakan sejak lahir, salah satu cirri kehidupan manusia adalah adanya perubahan yang konstan dalam masyarakat tersebut.[5] Disamping itu, manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia, bahkan saking mulianya manusia, segala sesuatu yang ada di bumi ini diciptakan dan ditundukkan oleh Allah agar dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai hamba dan khalifah. Untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai hamba dan khalifah, maka Allah memberikan karunia kepada manusia sesuatu yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya yaitu akal pikiran. Dengan akal pikiran tersebut, manusia mampu berkembang dan mencapai kemajuan yang tidak pernah terbayangkan oleh manusia sebelumnya baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun dalam bidang teknologi.

Kehidupan manusia pun selalu dinamis dan berkembang, tidak ada suatu masyarakat pun yang berhenti pada suatu titik tertentu sepanjang masa, dari bukti-bukti sejarah ditemukan bahwa kondisi masyarakat tidak dalam suatu kondisi tertentu, tetapi senantiasa berubah dan bergerak maju, konstruk sosial yang tidak sama dengan kehidupan dimasa rasul, kemudian struktur sosial, pranata sosial dan sistem sosial yang ada dan hidup dimasayarakat mulai ada sebuah pergeseran dari masa ke masa.[6] Tidak menutup kemungkinan akan ada sebuah permasalahan yang baru, hal ini adalah menjadi sebuah kewajaran bahkan sebuah keharusan didalam kehidupan.

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam sebuah masyarakat, dapat diamati bisa mengambil bermacam-macam bentuk. Ada perubahan yang terjadi secara lambat (evolusi) dan ada yang terjadi secara cepat (revolusi). Perubahan secara lambat terjadi secara sendirinya. Sebagai akibat dari adaptasi masyarakat dengan lingkunganya. Sedangkan perubahan secara besar-besaran adalah suatu perubahan yang sudah direncanakan. Kendati demikian perubahan cepat tidak dapat diukur dengan tempo waktu terjadinya, karena sering kali memakan waktu yang lama.

Menurut James W. Vander Zanden, sosiolog dari Ohio State University, Amerika Serikat. Terjadinya perubahan-perubahan itu diakibatkan beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut:

  1. Bertambah atau berkurangnya penduduk dan perubahan ekosistem yang ada disekitar manusia.
  2. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain sebagai akibat interaksi buadaya.
  3. Watak masyarakat secara kolektif, gerakan dan revolusi sosial;
  4. Tekhnologi dan modernitas[7]

Dari keempat faktor diatas, tekhnologi adalah yang banyak memberikan peran dalam proses perubahan sosial masyarakat, Seiring dengan perkembangan tekhnologi, banyak memberi pengaruh yang signifikan dalam kehidupan manusia, baik pengaruh positif maupun negatif dari dampak tekhnologi tersebut. Diantara dampak positif yang ditimbulkan dari adanya tekhnologi adalah kehidupan menjadi semakin mudah, jarak bukan menjadi sebuah halangan, dan manusia pun semakin dimanjakan. Akan tetapi disisi lain, tekhnologi melahirkan berbagai problem yang sangat kompleks, sehingga memerlukan suatu hukum yang akomodatif untuk menyelesaikan dan memberikan jalan tengah dari problem-problem tersebut.[8]

Dalam kondisi yang seperti ini, jika hukum yang berlaku (ius constitutum) tidak bisa memberikan jawaban dari setiap masalah-masalah yang terjadi, selanjutnya akan menimbulkan kekosongan hukum (rechtsvacuum) yang akan menimbulkan kondisi yang anarkis. Oleh karena itu, hukum dituntut adaptip untuk mengikuti perkembangan zaman yang ada, begitu juga seorang hakim dalam kondisi yang seperti ini ditantang untuk mengali hukum baru yang relevan dengan perkembangan jawab untuk mengisi kekosongan tersebut, sehingga dirasa hukum itu bersifat dinamis.[9]

Bagi setiap hakim dan orang yang concern terhadap perkembangan hukum Islam dalam merespon dan mengakomodir perubahan dan kemajuan zaman tersebut, telah tersedia suatu instrumen penemuan hukum yang disebut dengan ijtihad.

C. Ijtihad Adalah Suatu Upaya Pengembangan Hukum Islam

Ijtihad sebagai metode penemuan hukum yang bersandar pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal ketika diutus sebagi seorang hakim ke Yaman, yang bunyi hadits tersebut;

عن معاذبن جبل ان رسول الله صلي الله علیھ و سلم لما بعثه الى اليمن كيف تقضى اذا عرض لك قضاء قال اقضى بكتاب الله قال فان لم تجد في كتاب الله فبسنة رسول الله فان لم تجد في سنة رسول الله قال اجتھد رأیي ولا الو قال فضرب رسول الله على صدره و قال الحمد لله قد وفق رسول الله لما یرضى رسول الله

Artinya: "Dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya Rasululloh SAW, ketika mengutusnya ke Yaman Bersabda: "bagaimana kamu menetapkan hukum jika diajukan kepadamu sesuatu yang harus diputuskan, Muadz menjawab saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah, Rasulullah berkata:"jika kamu tidak menemukan dalam kitab Allah ? Muadz menjawab: "saya akan memutus berdasarkan sunnah Rasulullah. Rasululloh berkata: "jika kamu tidak menemukan dalam sunnah Rasululloh, Muadz menjawab saya akan berijtihad dengan pendapatku dan dengan seluruh kemampuanku. Maka Rasulullah merasa lega dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah (muadz) dalam hal yang diridhoi oleh Rasulullah.

Hadits ini dijadikan oleh para ulama sebagai dasar pijakan eksistensi ijtihad sebagai sumber dalam tatanan hukum Islam dan menggambarkan sumber hukum Islam secara hirearkis yang meliputi al-Qur'an, Hadits dan Ijtihad.

Materi hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah adalah bersifat umum dan Universal. Hukum yang demikian dapat diserap untuk memperkaya dan menyempurnakan hukum nasional. Akan tetapi, untuk mempermudah penyerapan tersebut diperlukan rumusan-rumusan yang jelas dan rasional, sehingga dapat diterapkan secara real. Dengan demikian, untuk mengembangkan upaya kontribusi hukum Islam terhadap hukum nasional diperlukan pemikiran kembali ajaran hukum al-Qur’an dan sunnah. Atau tegasnya, perlu adanya pembaharuan dibidang hukum Islam, guna menjawab tantangan zaman.

Setelah mencermati uraian diatas, tampak sebuah kegelisahan yang berbentuk dalam pertanyaan; apakah yang dimaksud dengan pembaharuan hukum Islam itu?

Untuk menjawab pertanyaan demikian, kita tidak mungkin lepas dari pembaharuan pemikiran Islam secara umum. Dan dalam hal ini ditemukan dua pendekatan oleh para pakar, yakni: pendekatan melalui analisis tekstual dan pendekatan sosio-historis. Pendekatan model pertama, melalui analisis kebahasaan dan interpretasi dari ulama salaf, akhirnya didapat sebuah kesimpulan bahwa kata pembaharuan (tajdid) dalam Islam mengandung enam elemen, diantaranya:

1. Pembaharuan adalah upaya menghidupkan ajaran Islam, penyebarannya, dan mengembalikanya kepada bentuk aslinya pada masa salaf pertama.

2. Pembaharuan demikian mencakup pula upaya memelihara teks-teks suci keagmaan yang benar dan otentik agar terhindar dari intervensi manusia.

3. Upaya pembaharuan harus diimbangi dengan suatu metode yang benar dalam memahami teks-teks suci, dan pemahaman demikian dapat ditelusuri melalui komentar-komentar yang telah dilakukan oleh aliran Sunni.

4. Tujuan penting pembaharuan agama adalah menjadikan hukum Islam sebagai landasan hukum bagi berbagai aspek kehidupan.

5. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan sebuah ijtihad, sehingga agama Islam dapat menjawab segala permasalahan yang hukum yang muncul dalam masyarakat

6. Aspek penting dalam pembaharuan adalah upaya membedakan ajaran agama yang sebenarnya dengan yang disisipkan kepadanya, baik sisipan yang muncul dari dalam maupun berupa pengaruh dari luar.[10]

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan oleh penulis, bahwa upaya pembaharuan pada satu sisi adalah upaya pembersihan ajaran agama dari berbagai hal yang bukan ajaran agama, tetapi hanya berupa budaya yang dipahami sebagai ajaran agama dan disisi lain pembaharuan sekaligus pula upaya menjawab tantangan zaman. Sisi pertama, dapat dikatakan sebagai sebuah pemurnian ajaran agama, yang dimaksud adalah memurnikan ajaran dari hal-hal yang berbau dari kemusyrikan, khurafat, dan bid’ah, untuk dikembalikan kepada ajaran Islam yang asli, yang diajarkan oleh al-Qur’an dan nabi Muhammad SAW. Maka bagian kedualah dari elemen-elemen diatas yang dapat dikatakan sebagai sebuah pembaharuan dalam agama.

Sementara itu, Harun Nasution melihat pembaharuan dari konteks sosio-historis. Menurutnya, wacana “pembaharuan” dalam khazanah pemikiran Islam hampir identik dengan “modernisasi”. Ia menyebutkan bahwa istilah modernisasi dan modernisme berasal dari barat. Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung pengertian pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.

Menurut Harun Nasution, pikiran dan aliran demikian segera memasuki lapangan hidup keagamaan di Barat, yang bertujuan untuk menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama khatolik dan protestan dengan ilmu pengetahuan dan falasafah modern, yang berakhir dengan munculnya sekularisme di Barat. Lalu, dengan adanya kontak dunia Islam dengan barat di awal abad ke-19, ide-ide demikian masuk pula ke dunia Islam, sehingga memunculkan pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan penegembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern.

Dari dua paradigma diatas terlihat bahwa paradigma pertama meninjau pembahruan secara umum, yakni berupa ijtihad untuk mendapatkan soludi atas permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat, dan upaya ini dilakukan oleh mujtahid, yang muncul dalam setiap generasi ummat. Sementara paradigma kedua melihat pembaharuan dari konteks sejarah, di mana pada awal abad ke-19 telah terjadi perubahan kebudayaan manusia yang sangat mendasar, yakni perubahan dari pola kehidupan agraris menjadi industrialis, yang menandai perlalihan dari abad pertengan ke abad modern.[11]

Kemudian, jika pembaharuan tersebut ditarik dalam konteks hukum Islam, maka yang dikatakan pembaharuan hukun Islam adalah upaya melakukan penyesuaian-penyesuaian ajaran Islam di bidang hukum dengan kemajuan moden, sehingga hukum Islam dapat menjawab persoalan yang muncul ditengah masyarakat yang ditimbulkan oleh perubahan sosial, perkembangan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern.

Amir Syarifuddin, pakar Ushul Fiqh IAIN Imam Bonjol Padang, cenderung melihat upaya pembaharuan hukum Islam itu pada terwujudnya reformulasi Fiqih, yakni perumusan ulang atas rumusan yang telah dibuat oleh para mujtahid terdahulu yang pada era sekarang sulit diterapkan dalam kehidupan nyata. Menurut Amir Syarifuddin, hasil rumusan fiqih ulama terdahulu bukanlah suatu hal yang dianggap finish, akan tetapi pada dasarnya rumusan tersebut boleh dikritisi, dikaji kembali, dan diadakan rumusan ulang terhadapnya bila keadaannya menghendaki. Dan di Indonesia, upaya demikian sudah dilakukan dan terus berlanjut, baik dilakukan oleh individual para ulama maupun oleh organisasi-organisasi Islam.

Dari kajian diatas, dapat ditegaskan bahwa upaya apa pun yang dilakukan, baik oleh perorangan, lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat, maupun oleh pemerintah, kalau upaya tersebut mengacu kepada penyesuaian ajaran Islam di bidang hukum dengan kemajuan mdern, sehingga hukum Islam dapat memberikan solusi hukum yang adil dan maslahat dalam berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat sebagai akses dari perubahan sosial dewasa ini, semua upaya tersebut dapat sebagai bagian dari upaya pembaharuan hukum Islam.

D. Kesimpulan

Perkembangan dan kemajuan zaman baik dalam bidang ilmu pengetahuan

maupun teknologi merupakan sebuah keniscayaan dalam peradaban manusia. Kemajuan tersebut disatu sisi menawarkan dan memberikan dampak positif bagi

kehidupan manusia, yaitu tersedianya berbagai fasilitas yang memberikan kemudahan bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi disisi lain, kemajuan tersebut menimbulkan dan melahirkan pelbagai masalah yang cukup komplek. Masalah tersebut jika tidak direspon dengan baik akan menimbulkan ketidakstabilan, ketidaktentraman dan ancaman bagi kehidupan manusia.

Melihat realita yang demikian, apabila hukum yang berlaku (ius constiutum) tidak mampu menjawab persoalan yang tengah dihadapi masyarakat, sedangkan apabila masalah-masalah tersebut dibiarkan akan menjadikan sebuah kekosongan hukum, hal ini dalam hukum tidak dibenarkan adanya kekosongan hukum tersebut.

Maka dari itu, seorang hakim dituntut untuk bisa mengisi kekosongan tersebut, dan harus bisa membuat solusi hukum yang akomodatif, mengatur segala permsalahan-permasalahan yang muncul dengan muaranya adil dan membawa kemaslahatan bersama. Untuk menjawab permasalahan tersbut kini telah ditemukan sebuah instrumen yaitu ijtihad.

Ijtihad inilah yang akan mereformulasi hukum yang ada, memperbaharui, bahkan mengadakan sebuah hukum baru apabila situasi dan kondisi membutuhkan.

Dengan adanya pembaharuan, hukum islam dapat memberikan solusi hukum yang adil terhadapa berbagai maslah yang ada. Solusi hukum yang adil dan maslahat dalam berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat sebagai akses dari perubahan sosial dewasa ini, semua upaya tersebut dapat sebagai bagian dari upaya pembaharuan hukum Islam.

Daftar Pustaka

Ijtihad dalam sorotan Ahmad Azhar Basyir, Munawir Sjadzali, I. Zainal Ibrahim Hosen, Harun Nasution, Muchtar Adam, Mauhammad Al Bagir, Bandung; Al-Mizan, 1996

Naufal, Erlan, Urgensi Ijtihad Dalam Pengembangan Hukum Islam Di Indonesi,ditulis dalam sebuah artikel

Rusli, Nasruddin, Konsep Ijtihad Al-Syaukani; Relevansinya bagi pembaharuan Islam Di Indonesia, Ciputat; PT. Logos Wacana Ilmu, 1999

Wahab Khallaf, Abdul, 'Ilmu Ushul al-Fiqh, D


[1] Erlan Naufal, Urgensi Ijtihad Dalam Pengembangan Hukum Islam Di Indonesia, ditulis dalam sebuah artikel.

[2] Harun Nasution, Ijtihad dalam sorotan Ahmad Azhar Basyir, Munawir Sjadzali, I. Zainal Ibrahim Hosen, Harun Nasution, Muchtar Adam, Mauhammad Al Bagir, (Bandung; Al-Mizan, 1996)hal. 108.

[3]Ibid. hal 109-110

[4] Erlan Naufal, Urgensi Ijtihad Dalam Pengembangan Hukum Islam Di Indonesi,ditulis dalam sebuah artikel

[5] Nasruddin Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani; Relevansinya bagi pembaharuan Islam Di Indonesia, (Ciputat; PT. Logos Wacana Ilmu, 1999)hal. 152.

[6] Ibid. 152

[7] Ibid.

[8] Ibid. 153

[9] Erlan Naufal, Urgensi Ijtihad Dalam Pengembangan Hukum Islam Di Indonesi,ditulis dalam sebuah artikel

[10] Nasruddin Rusli, Op. cit. Hal. 153-154

[11] Ibid. 154

Urgensi ijtihad dalam Pengembangan Hukum Islam

A. Pendahuluan

Islam sebagai sebuah agama menawarkan sebuah konsep universal, segala sesuatu sudah diatur oleh Islam secara komprehensif, mulai dari hal terkecil sampai dengan sesuatu yang yang sifatnya diluar jangkauan manusia (ghaib dan metafisik). Seiring dengan masuknya agama Islam di Indonesia, hukum Islam mulai digunakan sejak itu sampai sekarang, bukan hanya pada tataran simbol akan tetapi sampai pada tataran praktis. Keberlangsungan itu cukup lama, sebelum Belanda dan Portugis masuk untuk menjajah Nusantara hukum Islam sudah dipakai di Indonesia. Bahkan mengalami kemajuan ketika umat Islam memegang kekuasaan politik di Nusantara, dengan ditandai bebarapa kerajaan Islam diantaranya ialah kerajaan Demak, Samudra Pasai, Banten dan lainya.[1] Pada saat itu bahkan sampai sekarang, hukum Islam sudah hidup ditengah-tengah masyarakat Indonesia (living law) dan menjiwai bangsa Indonesia.

Hukum Islam, pada era reformasi sekarang sudah diakui sebagai sebuah sub sistem yang mempengaruhi sistem hukum nasional disamping sistem hukum adat (adatrecht) dan sistem hukum barat. Oleh karena itu hukum Islam memiliki peran yang cukup signifikan didalam pengembangan dan pembangunan hukum nasional. Dari ketiga sub sistem nasional diatas, hukum Islamlah yang banyak mempengaruhi sistem hukum di Indonesia, karena hukum Islam yang bersifat holistik, komperhensif mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, pun juga masyarakat Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan hukum Islam, yang mayoritas memeluk agama Islam yang setiap harinya tidak terlepas dari pelaksanaan dan pengamalan hukum Islam.

Maka segala sesuatu yang baru muncul, yang membutuhkan legalitas hukum terkait dengan permasalahan-permasalahan kontemporer yang dihadapi oleh umat, sekiranya perlu didapatkan sebuah kejelasan hukum. Maka dari itu, umat Islam perlu mencarikan solusinya, yang merujuk kepada al-Qur’an dan As-Sunah. Kalaupun tidak dijumpai didalamnya, maka umat Islam pun berusaha mengali hukum dari kedua sumber tersebut tentunya dengan metode sistematis yang telah disepakati (ijma’). Hal inilah yang dinamakan dengan ijtihad.

Ijtihad sebagai kata dalam bahasa arab berakar dari bahasa al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya, kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqah (kesuliatan, kesukaran). Sedangkan ijtihad dalam artian terminologi ushuliyin adalah pengerahan kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at. Dalam arti luas atau umum, ijtihad juga digunakan dalam bidang-bidang lain agama. Misalnya, Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa ijtihad juga digunakan dalam bidang tasawuf dan lain-lain, mengatakan: “sebenarnya mereka (kaum sufi) adalah mujtahid-mujtahid dalam masalah-masalah kepatuhan, sebagaimana mujtahid-mujtahid lain….” “dan pada hakikatnya mereka (kaum sufi di Bashrah), dalam masalah ibadah dan ahwal (hal ihwal) ini adalah mujtahid-mujtahid, seperti halnya dengan tetangga mereka di Kuffah yang juga mujtahid-mujtahid dalam masalah hukum, tata Negara, dan lain-lain”.[2]

Sejarah mencatat, umat Islam melakukan ijtihad pada pertama kalinya yaitu dalam permasalahan penganti nabi Muhammad SAW. sebagai khalifah atau kepala Negara setelah beliau wafat. Kemudian setelah menjabat sebagai kholifah, Abu Bakar menghadapi suatu masalah, sebagian orang Islam tidak mau membayar zakat setelah Nabi Muhammad wafat, kemudian ia menyelesaikan masalah itu dengan ijtihad.[3]

Dalam Islam, ijtihad adalah sebuah persoalan yang tidak akan pernah berhenti, yang ramai mulai zaman dahulu sampai dengan zaman sekarang. Ijtihad adalah sebagai sebuah upaya pembaharuan dan pengembangan hukum Islam yang memiliki sifat dan karateristik tersendiri diantaranya, ta'amul (sempurna), wasathiyah ( harmonis) dan harakah (dinamis). Ijtihad, merupakan sumber ketiga ajaran Islam.

Sifat harakah atau dinamis yang dimiliki oleh hukum Islam inilah yang mampu mengakomodir dan merespon dan menjawab segala persoalan yang tidak ditemukan dari sumber utama hukum Islam sebagai dampak dari perubahan dan kemajuan social yang tidak bisa dielakkan.[4]

Uraian diatas sebenarnya mengerucut pada pembahasan mengenai pentingnya ijtihad dan urgensinya dalam kehidupan kita, sebagai upaya pembumian syariat Islam yang kita yakini sebagai manhaj hidup. Dengan ijtihad, maka syariat Islam selamanya akan terlihat eliminer dalam berbagai ruang dan waktu. Tak ayal, ijtihad di era kontemporer adalah suatu keniscayaan.

B. Perubahan Sosial Dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam

Hidup bermasyarakat merupakan salah satu fitrah manusia yang telah dibawakan sejak lahir, salah satu cirri kehidupan manusia adalah adanya perubahan yang konstan dalam masyarakat tersebut.[5] Disamping itu, manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia, bahkan saking mulianya manusia, segala sesuatu yang ada di bumi ini diciptakan dan ditundukkan oleh Allah agar dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai hamba dan khalifah. Untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai hamba dan khalifah, maka Allah memberikan karunia kepada manusia sesuatu yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya yaitu akal pikiran. Dengan akal pikiran tersebut, manusia mampu berkembang dan mencapai kemajuan yang tidak pernah terbayangkan oleh manusia sebelumnya baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun dalam bidang teknologi.

Kehidupan manusia pun selalu dinamis dan berkembang, tidak ada suatu masyarakat pun yang berhenti pada suatu titik tertentu sepanjang masa, dari bukti-bukti sejarah ditemukan bahwa kondisi masyarakat tidak dalam suatu kondisi tertentu, tetapi senantiasa berubah dan bergerak maju, konstruk sosial yang tidak sama dengan kehidupan dimasa rasul, kemudian struktur sosial, pranata sosial dan sistem sosial yang ada dan hidup dimasayarakat mulai ada sebuah pergeseran dari masa ke masa.[6] Tidak menutup kemungkinan akan ada sebuah permasalahan yang baru, hal ini adalah menjadi sebuah kewajaran bahkan sebuah keharusan didalam kehidupan.

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam sebuah masyarakat, dapat diamati bisa mengambil bermacam-macam bentuk. Ada perubahan yang terjadi secara lambat (evolusi) dan ada yang terjadi secara cepat (revolusi). Perubahan secara lambat terjadi secara sendirinya. Sebagai akibat dari adaptasi masyarakat dengan lingkunganya. Sedangkan perubahan secara besar-besaran adalah suatu perubahan yang sudah direncanakan. Kendati demikian perubahan cepat tidak dapat diukur dengan tempo waktu terjadinya, karena sering kali memakan waktu yang lama.

Menurut James W. Vander Zanden, sosiolog dari Ohio State University, Amerika Serikat. Terjadinya perubahan-perubahan itu diakibatkan beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut:

  1. Bertambah atau berkurangnya penduduk dan perubahan ekosistem yang ada disekitar manusia.
  2. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain sebagai akibat interaksi buadaya.
  3. Watak masyarakat secara kolektif, gerakan dan revolusi sosial;
  4. Tekhnologi dan modernitas[7]

Dari keempat faktor diatas, tekhnologi adalah yang banyak memberikan peran dalam proses perubahan sosial masyarakat, Seiring dengan perkembangan tekhnologi, banyak memberi pengaruh yang signifikan dalam kehidupan manusia, baik pengaruh positif maupun negatif dari dampak tekhnologi tersebut. Diantara dampak positif yang ditimbulkan dari adanya tekhnologi adalah kehidupan menjadi semakin mudah, jarak bukan menjadi sebuah halangan, dan manusia pun semakin dimanjakan. Akan tetapi disisi lain, tekhnologi melahirkan berbagai problem yang sangat kompleks, sehingga memerlukan suatu hukum yang akomodatif untuk menyelesaikan dan memberikan jalan tengah dari problem-problem tersebut.[8]

Dalam kondisi yang seperti ini, jika hukum yang berlaku (ius constitutum) tidak bisa memberikan jawaban dari setiap masalah-masalah yang terjadi, selanjutnya akan menimbulkan kekosongan hukum (rechtsvacuum) yang akan menimbulkan kondisi yang anarkis. Oleh karena itu, hukum dituntut adaptip untuk mengikuti perkembangan zaman yang ada, begitu juga seorang hakim dalam kondisi yang seperti ini ditantang untuk mengali hukum baru yang relevan dengan perkembangan jawab untuk mengisi kekosongan tersebut, sehingga dirasa hukum itu bersifat dinamis.[9]

Bagi setiap hakim dan orang yang concern terhadap perkembangan hukum Islam dalam merespon dan mengakomodir perubahan dan kemajuan zaman tersebut, telah tersedia suatu instrumen penemuan hukum yang disebut dengan ijtihad.

C. Ijtihad Adalah Suatu Upaya Pengembangan Hukum Islam

Ijtihad sebagai metode penemuan hukum yang bersandar pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal ketika diutus sebagi seorang hakim ke Yaman, yang bunyi hadits tersebut;

عن معاذبن جبل ان رسول الله صلي الله علیھ و سلم لما بعثه الى اليمن كيف تقضى اذا عرض لك قضاء قال اقضى بكتاب الله قال فان لم تجد في كتاب الله فبسنة رسول الله فان لم تجد في سنة رسول الله قال اجتھد رأیي ولا الو قال فضرب رسول الله على صدره و قال الحمد لله قد وفق رسول الله لما یرضى رسول الله

Artinya: "Dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya Rasululloh SAW, ketika mengutusnya ke Yaman Bersabda: "bagaimana kamu menetapkan hukum jika diajukan kepadamu sesuatu yang harus diputuskan, Muadz menjawab saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah, Rasulullah berkata:"jika kamu tidak menemukan dalam kitab Allah ? Muadz menjawab: "saya akan memutus berdasarkan sunnah Rasulullah. Rasululloh berkata: "jika kamu tidak menemukan dalam sunnah Rasululloh, Muadz menjawab saya akan berijtihad dengan pendapatku dan dengan seluruh kemampuanku. Maka Rasulullah merasa lega dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah (muadz) dalam hal yang diridhoi oleh Rasulullah.

Hadits ini dijadikan oleh para ulama sebagai dasar pijakan eksistensi ijtihad sebagai sumber dalam tatanan hukum Islam dan menggambarkan sumber hukum Islam secara hirearkis yang meliputi al-Qur'an, Hadits dan Ijtihad.

Materi hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah adalah bersifat umum dan Universal. Hukum yang demikian dapat diserap untuk memperkaya dan menyempurnakan hukum nasional. Akan tetapi, untuk mempermudah penyerapan tersebut diperlukan rumusan-rumusan yang jelas dan rasional, sehingga dapat diterapkan secara real. Dengan demikian, untuk mengembangkan upaya kontribusi hukum Islam terhadap hukum nasional diperlukan pemikiran kembali ajaran hukum al-Qur’an dan sunnah. Atau tegasnya, perlu adanya pembaharuan dibidang hukum Islam, guna menjawab tantangan zaman.

Setelah mencermati uraian diatas, tampak sebuah kegelisahan yang berbentuk dalam pertanyaan; apakah yang dimaksud dengan pembaharuan hukum Islam itu?

Untuk menjawab pertanyaan demikian, kita tidak mungkin lepas dari pembaharuan pemikiran Islam secara umum. Dan dalam hal ini ditemukan dua pendekatan oleh para pakar, yakni: pendekatan melalui analisis tekstual dan pendekatan sosio-historis. Pendekatan model pertama, melalui analisis kebahasaan dan interpretasi dari ulama salaf, akhirnya didapat sebuah kesimpulan bahwa kata pembaharuan (tajdid) dalam Islam mengandung enam elemen, diantaranya:

1. Pembaharuan adalah upaya menghidupkan ajaran Islam, penyebarannya, dan mengembalikanya kepada bentuk aslinya pada masa salaf pertama.

2. Pembaharuan demikian mencakup pula upaya memelihara teks-teks suci keagmaan yang benar dan otentik agar terhindar dari intervensi manusia.

3. Upaya pembaharuan harus diimbangi dengan suatu metode yang benar dalam memahami teks-teks suci, dan pemahaman demikian dapat ditelusuri melalui komentar-komentar yang telah dilakukan oleh aliran Sunni.

4. Tujuan penting pembaharuan agama adalah menjadikan hukum Islam sebagai landasan hukum bagi berbagai aspek kehidupan.

5. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan sebuah ijtihad, sehingga agama Islam dapat menjawab segala permasalahan yang hukum yang muncul dalam masyarakat

6. Aspek penting dalam pembaharuan adalah upaya membedakan ajaran agama yang sebenarnya dengan yang disisipkan kepadanya, baik sisipan yang muncul dari dalam maupun berupa pengaruh dari luar.[10]

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan oleh penulis, bahwa upaya pembaharuan pada satu sisi adalah upaya pembersihan ajaran agama dari berbagai hal yang bukan ajaran agama, tetapi hanya berupa budaya yang dipahami sebagai ajaran agama dan disisi lain pembaharuan sekaligus pula upaya menjawab tantangan zaman. Sisi pertama, dapat dikatakan sebagai sebuah pemurnian ajaran agama, yang dimaksud adalah memurnikan ajaran dari hal-hal yang berbau dari kemusyrikan, khurafat, dan bid’ah, untuk dikembalikan kepada ajaran Islam yang asli, yang diajarkan oleh al-Qur’an dan nabi Muhammad SAW. Maka bagian kedualah dari elemen-elemen diatas yang dapat dikatakan sebagai sebuah pembaharuan dalam agama.

Sementara itu, Harun Nasution melihat pembaharuan dari konteks sosio-historis. Menurutnya, wacana “pembaharuan” dalam khazanah pemikiran Islam hampir identik dengan “modernisasi”. Ia menyebutkan bahwa istilah modernisasi dan modernisme berasal dari barat. Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung pengertian pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.

Menurut Harun Nasution, pikiran dan aliran demikian segera memasuki lapangan hidup keagamaan di Barat, yang bertujuan untuk menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama khatolik dan protestan dengan ilmu pengetahuan dan falasafah modern, yang berakhir dengan munculnya sekularisme di Barat. Lalu, dengan adanya kontak dunia Islam dengan barat di awal abad ke-19, ide-ide demikian masuk pula ke dunia Islam, sehingga memunculkan pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan penegembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern.

Dari dua paradigma diatas terlihat bahwa paradigma pertama meninjau pembahruan secara umum, yakni berupa ijtihad untuk mendapatkan soludi atas permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat, dan upaya ini dilakukan oleh mujtahid, yang muncul dalam setiap generasi ummat. Sementara paradigma kedua melihat pembaharuan dari konteks sejarah, di mana pada awal abad ke-19 telah terjadi perubahan kebudayaan manusia yang sangat mendasar, yakni perubahan dari pola kehidupan agraris menjadi industrialis, yang menandai perlalihan dari abad pertengan ke abad modern.[11]

Kemudian, jika pembaharuan tersebut ditarik dalam konteks hukum Islam, maka yang dikatakan pembaharuan hukun Islam adalah upaya melakukan penyesuaian-penyesuaian ajaran Islam di bidang hukum dengan kemajuan moden, sehingga hukum Islam dapat menjawab persoalan yang muncul ditengah masyarakat yang ditimbulkan oleh perubahan sosial, perkembangan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern.

Amir Syarifuddin, pakar Ushul Fiqh IAIN Imam Bonjol Padang, cenderung melihat upaya pembaharuan hukum Islam itu pada terwujudnya reformulasi Fiqih, yakni perumusan ulang atas rumusan yang telah dibuat oleh para mujtahid terdahulu yang pada era sekarang sulit diterapkan dalam kehidupan nyata. Menurut Amir Syarifuddin, hasil rumusan fiqih ulama terdahulu bukanlah suatu hal yang dianggap finish, akan tetapi pada dasarnya rumusan tersebut boleh dikritisi, dikaji kembali, dan diadakan rumusan ulang terhadapnya bila keadaannya menghendaki. Dan di Indonesia, upaya demikian sudah dilakukan dan terus berlanjut, baik dilakukan oleh individual para ulama maupun oleh organisasi-organisasi Islam.

Dari kajian diatas, dapat ditegaskan bahwa upaya apa pun yang dilakukan, baik oleh perorangan, lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat, maupun oleh pemerintah, kalau upaya tersebut mengacu kepada penyesuaian ajaran Islam di bidang hukum dengan kemajuan mdern, sehingga hukum Islam dapat memberikan solusi hukum yang adil dan maslahat dalam berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat sebagai akses dari perubahan sosial dewasa ini, semua upaya tersebut dapat sebagai bagian dari upaya pembaharuan hukum Islam.

D. Kesimpulan

Perkembangan dan kemajuan zaman baik dalam bidang ilmu pengetahuan

maupun teknologi merupakan sebuah keniscayaan dalam peradaban manusia. Kemajuan tersebut disatu sisi menawarkan dan memberikan dampak positif bagi

kehidupan manusia, yaitu tersedianya berbagai fasilitas yang memberikan kemudahan bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi disisi lain, kemajuan tersebut menimbulkan dan melahirkan pelbagai masalah yang cukup komplek. Masalah tersebut jika tidak direspon dengan baik akan menimbulkan ketidakstabilan, ketidaktentraman dan ancaman bagi kehidupan manusia.

Melihat realita yang demikian, apabila hukum yang berlaku (ius constiutum) tidak mampu menjawab persoalan yang tengah dihadapi masyarakat, sedangkan apabila masalah-masalah tersebut dibiarkan akan menjadikan sebuah kekosongan hukum, hal ini dalam hukum tidak dibenarkan adanya kekosongan hukum tersebut.

Maka dari itu, seorang hakim dituntut untuk bisa mengisi kekosongan tersebut, dan harus bisa membuat solusi hukum yang akomodatif, mengatur segala permsalahan-permasalahan yang muncul dengan muaranya adil dan membawa kemaslahatan bersama. Untuk menjawab permasalahan tersbut kini telah ditemukan sebuah instrumen yaitu ijtihad.

Ijtihad inilah yang akan mereformulasi hukum yang ada, memperbaharui, bahkan mengadakan sebuah hukum baru apabila situasi dan kondisi membutuhkan.

Dengan adanya pembaharuan, hukum islam dapat memberikan solusi hukum yang adil terhadapa berbagai maslah yang ada. Solusi hukum yang adil dan maslahat dalam berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat sebagai akses dari perubahan sosial dewasa ini, semua upaya tersebut dapat sebagai bagian dari upaya pembaharuan hukum Islam.

Daftar Pustaka

Ijtihad dalam sorotan Ahmad Azhar Basyir, Munawir Sjadzali, I. Zainal Ibrahim Hosen, Harun Nasution, Muchtar Adam, Mauhammad Al Bagir, Bandung; Al-Mizan, 1996

Naufal, Erlan, Urgensi Ijtihad Dalam Pengembangan Hukum Islam Di Indonesi,ditulis dalam sebuah artikel

Rusli, Nasruddin, Konsep Ijtihad Al-Syaukani; Relevansinya bagi pembaharuan Islam Di Indonesia, Ciputat; PT. Logos Wacana Ilmu, 1999

Wahab Khallaf, Abdul, 'Ilmu Ushul al-Fiqh, D


[1] Erlan Naufal, Urgensi Ijtihad Dalam Pengembangan Hukum Islam Di Indonesia, ditulis dalam sebuah artikel.

[2] Harun Nasution, Ijtihad dalam sorotan Ahmad Azhar Basyir, Munawir Sjadzali, I. Zainal Ibrahim Hosen, Harun Nasution, Muchtar Adam, Mauhammad Al Bagir, (Bandung; Al-Mizan, 1996)hal. 108.

[3]Ibid. hal 109-110

[4] Erlan Naufal, Urgensi Ijtihad Dalam Pengembangan Hukum Islam Di Indonesi,ditulis dalam sebuah artikel

[5] Nasruddin Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani; Relevansinya bagi pembaharuan Islam Di Indonesia, (Ciputat; PT. Logos Wacana Ilmu, 1999)hal. 152.

[6] Ibid. 152

[7] Ibid.

[8] Ibid. 153

[9] Erlan Naufal, Urgensi Ijtihad Dalam Pengembangan Hukum Islam Di Indonesi,ditulis dalam sebuah artikel

[10] Nasruddin Rusli, Op. cit. Hal. 153-154

[11] Ibid. 154