Sabtu, 16 Januari 2010

IMAM AHMAD

1. Biografi Imam Ahmad bin Hanbal

Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin ilal bin As’ad bin Idris bin Abdullah bin Khayan bin Abdullah bin Annas bin Auf bin Qasit bin Mazan bin Syaiban bin Dahl bin Tsaklaba bin Uqabah bin Syuaib bin Ali bin Bakr bin Wail bin Qasit bin Hannab bin Aqsha bin Dakmi bin Jadilah bin As’ad bin Radiah bin Nazar nin Muadz bin Adnan bin ‘Adi bin ‘Adad bin Humaisyak bin Khamal bin Nibthi bin Khazar bin Ismail bin Ibrahim as.

Dia berasal dari Syaiban dan keturunannya dari Bashrah, Baghdad. Tumbuhnya, kelahirannya dan meninggalnya. Ibunya bernama Syaifah binti Maimunah.

Kelahirannya :

Imam Ahmad dilahirkan di Madinah As Salam, Baghdad. Hanbali diasuh dan dibesarkan oleh ibunya sendiri. Pendidikannya diawali dengan belajar Al Quran dan ilmu-ilmu agama pada uluma-ulama di Baghadad sampai usia 16 tahun. Imam Hanbali hidup pada masapemerintahan khalifah Al Mamun dari Dinasti Abbasiyah. Waktu itu aliran muktazilah sedang mengalami kejayaannya. Imam Hanbalilah yang memprotes keras aliran tersebut sehingga dia menjadi pembnagkang terhadap pemerintahan pada masa itu, karena pemerintahan pada masa itu mengikuti aliran muktazliah, sehingga mengakibatkan Imam Hanbal ditangkap dan dikirim mengahadap Al Makmun di Tarsus. Dan dia dipenjara pada masa anaknya Makmun yaitu Mu’tashim dan terus dianiaya sampai masa pemerintahan Al Wasiq yaitu putra Mu’tasim dan dia bebas pada masa pemerintahan Al Mutawakkil.

Di bidang fiqh Imam Hanbal menyimpulkan suatu hukum adalah :

1. Nash Al Quran dan Hadits Sahih

2. Fatwa para sahabat

3. Hadits Mursal dan hadits Dhaif yang bukan disebabkan kecurigaan akan kebohongan perawinya.

Ahmad ibn Hanbal lahir di Baghdad pada bulan Rabi’ul Awwal, tahun 164 H dan wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, tahun 241 H. Di masa hidupnya, yaitu di akhir abad kedua dan paruh pertama abad ketiga, persentuhan umat Islam dengan warisan-warisan peradaban asing, terutama Persia dan Yunani, berlangsung secara intens. Dalam banyak hal, unsur-unsur asing itu dirasa bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.

Berhadapan dengan pengaruh-pengaruh asing yang semakin luas menyebar itu, Imam Ahmad beserta para ulama yang lain menyerukan perlunya umat Islam kembali ke dasar-dasar ajaran agama mereka sebagaimana dipahami oleh para pendahulu Rasulullah, para sahabat dan tabi’in. Dalam konteks perlawanan terhadap hal-hal dari ”luar” tersebut, tidak berlebihan kiranya jika Musnad ini dipandang sebagai bagian dari upaya mempermudah akses umat kepada sumber-sumber ajaran agama mereka yang paling elementer.

Selain itu, masa tersebut juga ditandai dengan konflik antar aliran dalam Islam yang mengemuka dan berlangsung secara terbuka, terutama perdebatan teologis di antara golongan muhadditsin dan mutakallimin. Imam Ahmad adalah ikon perlawanan golongan muhadditsin terhadap golongan mutakallimin, khususnya dalam persoalan: apakah al-Qur`an itu makhluk atau bukan? Imam Ahmad bersikeras memegang pendapat bahwa al-Qur`an bukan makhluk. Akibat pendiriannya itu, Imam Ahmad dipenjara dan disiksa dalam proses mihnah (inkuisisi) yang dilakukan oleh Khalifah al-Ma`mun dan al-Mu’tashim. Tetapi, sulit menentukan dengan pasti apakah inkuisisi itu memiliki pengaruh langsung bagi keputusannya menulis Musnad.

Dalam situasi konflik itu, muncul kecenderungan bahwa setiap kelompok yang bertikai mencari pembenaran bagi keyakinannya dari sumber-sumber ajaran Islam Al-Qur`an dan Hadits. Sementara itu, belum ada pemilahan yang ketat antara hadits-hadits yang dapat diterima dan hadits-hadits yang harus ditolak. Hadits-hadits palsu pun menyebar luas di tengah-tengah masyarakat. Maka literatur-literatur hadits yang muncul di abad ketiga, termasuk Musnad Ahmad, dapat juga dilihat sebagai upaya para ulama untuk memurnikan hadits dari pemalsuan dan penyimpangan.

Di luar itu semua, Musnad ini pada dasarnya adalah intisari dari sekian tahun proses intelektual Imam Ahmad di bidang hadits. Karena itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa penyusunan Musnad sebetulnya telah dimulai sejak tahun 180 H masa ketika Imam Ahmad baru memulai proses mempelajari dan mengumpulkan hadits. Pendapat tersebut memang bisa dipersoalkan, terutama karena ada juga pendapat bahwa Imam Ahmad memulai proses penyusunan Musnadnya ini di awal abad ketiga, tepatnya setelah dia pulang dari belajar hadits kepada ’Abd al-Razzaq di Yaman. Tetapi dari pernyataan Imam Ahmad sendiri, bahwa dia menyaring materi-materi hadits dalam Musnadnya itu dari 750 ribu hadits yang dihafalnya, kita dapat dengan aman menyimpulkan bahwa kalau pun Imam Ahmad baru memulai penulisan Musnadnya itu di masa-masa terakhir hidupnya, namun materi-materi yang ada di dalamnya telah dikumpulkannya sejak masa-masa yang sangat awal dari proses intelektual yang dijalaninya.
Musnad kemudian didiktekan oleh Ahmad kepada 3 orang murid dan putranya Hanbal, Shalih dan Abdullah beberapa tahun sebelum ia meninggal dunia. Tampaknya, Imam Ahmad meninggal dunia sebelum sempat menuntaskan perbaikan dan koreksi terhadap Musnadnya ini. Karena itu, beberapa orang, seperti Al-Dzahabi, melihat adanya beberapa kesalahan kecil di dalamnya menyangkut penempatan hadits serta pengulangan-pengulangan yang tidak perlu.

Musnad ini juga mengandung periwayatan Imam Ahmad terhadap shahifah-shahifah hadits yang ditulis di masa-masa yang sangat awal. Di antaranya adalah shahifah milik Hammam ibn Munabbih yang dikenal dengan ”Al-Shahifah al-Shahihah”, shahifah milik Abdullah ibn ’Amr ibn ’Âsh yang dikenal dengan ”Al-Shahifah al-Shadiqah”, shahifah milik Samurah ibn Jundub, serta shahifah milik Abu Salamah.

2. Kandungan Hadits

Kemampuannya dalam bidang hadits terbukti dari kesanggupannya menyusun Al Musnad yaitu suatu kitab hadits yang menghimpun kurang lebih 40.000 hadits dan disusun berdasarkan nama sahabat yang merawikannya.

Didalam penelitian Muhammad Abdul Aziz Al Khuli menunjukkan bahwa ada 10.000 hadits yang berulang dalam Musnad tersebut jadi jumlah sebenarnya adalah 30.000 hadits.

Ada isyarat yang cukup jelas dari Imam Ahmad sendiri bahwa dia menginginkan Musnadnya ini menjadi pedoman bagi penentuan kualitas hadits-hadits yang beredar di masyarakat. Dia menyatakan, ”Aku menulis kitab ini untuk menjadi pedoman (imâm). Jika orang-orang berbeda pendapat tentang sunnah Rasulullah, maka kitab inilah yang mereka rujuk.”

Dalam pernyataannya yang lain, Imam Ahmad berkata, ”Jika kaum muslimin berselisih tentang sebuah hadits dari Rasulullah, maka hendaklah mereka merujuk kepada kitab ini. Jika mereka tidak menemukan hadits tersebut di sana, maka hadits itu tidak bisa dijadikan hujjah.” Pernyataan-pernyataan itu seakan-akan menunjukkan bahwa semua hadits yang terdapat dalam Musnad benilai sahih. Tetapi ada pernyataan lain dari Imam Ahmad yang menunjukkan bahwa tidak semua hadits-hadits di dalam Musnadnya sahih berdasarkan kriterianya sendiri. Diriwayatkan bahwa Ahmad pernah berkata kepada putranya, Abdullah, ”Aku juga mencantumkan di dalam Musnad ini hadits-hadits masyhur dan kuserahkan masyarakat ke dalam perlindungan Allah. Seandainya aku bermaksud mencantumkan hanya hadits-hadits yang menurutku sahih, maka hanya sedikit hadits-hadits yang bisa kuriwayatkan di dalam Musnad ini. Tetapi, wahai Anakku, engkau tahu metode yang kugunakan dalam meriwayatkan hadits. Jika tidak ada hadits yang sahih dalam suatu bab tertentu, maka aku tidak akan menentang hadits-hadits yang ada, meski ia mengandung kelemahan.”

Versi Musnad yang sampai ke tangan kita dewasa ini tidak sepenuhnya merupakan riwayat Imam Ahmad. Ahmad al-Sa’ati menyatakan bahwa hadits-hadits di dalam Musnad, berdasarkan periwayatannya, terbagi menjadi enam kategori yaitu :

1. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal dari ayahnya secara sama’an. Kategori inilah inti dari Musnad Ahmad dan meliputi lebih dari 3/4 bagiannya.

2. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah dari ayahnya sekaligus dari orang lain.

3. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah dari orang lain dan tidak diriwayatkannya dari ayahnya. Kategori ini disebut oleh para ulama hadits sebagai ”zawaid ’Abdillah”.

4. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah dari ayahnya qira`atan, bukan sama’an.

5. Hadits-hadits yang ditemukan oleh Abdullah dalam catatan yang ditulis sendiri oleh ayahnya dan tidak pernah diriwayatkannya dari ayahnya itu secara qira`atan maupun sama’an. Hadits-hadits dalam kategori ini biasanya didahului dengan ungkapan “wajadtu bikhaththi abi...”.

6. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakr al-Qathi’I murid Abdullah dari orang lain di luar Ahmad dan Abdullah.

Tampaknya, Imam Ahmad memang berusaha untuk melakukan seleksi secara ketat terhadap hadits-hadits yang akan dimasukkannya ke dalam Musnad. Dia sangat berhati-hati untuk tidak mencantumkan hadits-hadits yang berasal dari orang-orang yang diragukan kejujuran, integritas moral atau ketaatan mereka dalam menjalankan ajaran-ajaran agama. Tetapi mesti juga diakui, berdasarkan pernyataannya sendiri, bahwa dia sengaja memasukkan hadits-hadits yang masih problematis (fîhi dha’f) ketika tidak ditemukan hadits-hadits lain yang lebih sahih dalam persoalan yang sama. Itu barangkali bersumber dari keteguhannya memegang prinsip bahwa hadits dha’if harus didahulukan di atas penalaran rasional. Apalagi, di sisi lain, Imam Ahmad memang mendukung pendapat yang membolehkan periwayatan hadits-hadits dha’if kecuali yang mawdhu’ menyangkut persoalan-persoalan tertentu yang tidak prinsipil, seperti at-tarhib wa al-targhib dan al-mawa’izh.

Pernyataan bahwa seluruh hadits dha’if yang terdapat di dalam Musnad bisa dianggap mendekati kualitas hadits hasan patut juga dipertanyakan. Bahkan Ibn Hajar sendiri menyatakan bahwa ada tiga atau empat hadits di dalam Musnad yang tidak diketahui asal-usulnya (la ashla lahu). Terhadap ini, kita bisa mengajukan beberapa alasan. Pertama, Imam Ahmad sendiri barangkali memang tidak sempat menuntaskan proses perbaikan dan koreksi terhadap Musnadnya ini. Kedua, sebagaimana diungkapkan Ibn Hajar, Imam Ahmad barangkali pernah memerintahkan agar hadits-hadits dha’if itu dihapuskan, namun Abdullah lupa untuk menghapusnya. Ketiga, sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Taymiyah, boleh jadi hadits-hadits dha’if itu bersumber dari apa yang diriwayatkan oleh Abdullah dan al-Qathi’i dari guru-guru selain Imam Ahmad.

3. Metode penghimpunan

Sesuai dengan definisinya, hadits-hadits di dalam musnad disusun berdasarkan para sahabat yang meriwayatkannya. Ada beberapa cara penyusunan urutan sahabat dalam penulisan kitab-kitab musnad. Sebagian musnad menyusunnya secara alfabetis. Sebagian yang lain menuliskannya berdasarkan kabilah. Model sistematika penyusunan Musnad Ahmad berbeda dengan dua model tadi.
Tidak ada kriteria tunggal yang dijadikan standar oleh Imam Ahmad dalam penyusunan urutan sahabat di Musnadnya. Dia memulai urutan itu dengan empat orang al-Khulafa ar-Rasyidun, diikuti kemudian dengan 6 sahabat lain yang termasuk ke dalam 10 orang yang dijamin masuk surga. Sampai di sini, kriteria yang digunakannya barangkali adalah kedudukan atau tingkatan para sahabat berdasarkan siapa di antara mereka yang terlebih dahulu masuk Islam (al-asbaqiyyah fi al-Islam). Kemudian Imam Ahmad menulis riwayat para Ahl al-Bayt dan sanak kerabat Rasulullah, termasuk anggota Bani Hasyim. Setelah mereka, Imam Ahmad beralih kepada kriteria jumlah periwayatan dengan mencantumkan para sahabat yang meriwayatkan hadits dalam jumlah besar (al-muktsirun min al-riwayah).

Selanjutnya, dia menggunakan kriteria tempat dan domisili. Dalam kriteria ini, Imam Ahmad menyebutkan riwayat-riwayat para sahabat yang tinggal di Mekah (al-Makkiyyun), lalu mereka yang tinggal Madinah (al-Madaniyyun), lalu, secara berurutan, mereka yang tinggal di Syam (al-Syamiyyun), di Kufah (al-Kufiyyun), dan di Basrah (al-Bashriyyun). Barulah, pada bagian berikutnya, Imam Ahmad mencantumkan riwayat-riwayat para sahabat Anshar, kemudian para sahabat perempuan.
Mengenai penulisan bab, Imam Ahmad menjadikan setiap sahabat sebagai bab tersendiri. Di dalamnya, dia mencantumkan seluruh hadits yang diriwayatkannya dari sahabat tersebut lengkap dengan sanadnya. Jika terdapat perbedaan sanad atau demi tujuan tertentu, Imam Ahmad mengulang kembali pencantuman sanad atau matan hadits seringkali kedua-duanya pada tempat yang berbeda. Karena itu, jumlah hadits yang mengalami pengulangan mencapai seperempat bagian Musnadnya.

Imam Ahmad juga menggunakan kata ”musnad” atau ”hadits” secara bergantian dalam penulisan judul bab. Secara umum, jika sebuah bagian meliputi beberapa orang sahabat, dia menggunakan kata ”musnad”, seperti Musnad Ahl al-Bayt atau Musnad al-Madaniyyin. Kemudian untuk setiap sahabat di dalam kelompok itu, dia menggunakan kata ”hadits”, seperti Hadits al-Hasan atau Hadits Tsabit ibn ’Abdillah, meski bab tersebut berisi lebih dari satu hadits. Tetapi hal ini tidak berlaku secara keseluruhan. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar dan Umar, misalnya, diletakkan di dalam bab yang berjudul Musnad Abi Bakr dan Musnad ’Umar.

Jika ada dua hadits yang sanadnya sama dan disebutkan berurutan di dalam Musnad, maka Imam Ahmad hanya mencantumkan sanad tersebut di hadits yang pertama dan tidak mencantumkannya di hadits yang kedua. Sementara jika dua hadits tersebut memiliki sanad yang berbeda, maka Imam Ahmad mencantumkan masing-masing sanad itu pada hadits yang bersangkutan. Dalam persoalan redaksi periwayatan hadits (shighah al-ada`), Imam Ahmad dikenal sangat ketat. Ia berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mengubah shighah al-ada` sebagaimana yang telah didengarnya dari gurunya. Artinya, jika gurunya meriwayatkan hadits dengan redaksi “haddatsana”, misalnya, maka ia tidak boleh mengubahnya dengan “akhbarana”. Karena itu, kita dapat mengasumsikan bahwa, dalam Musnad Ahmad, semua shighah al-ada` ditulis sebagaimana adanya.

4. Sistematika isi kitab

Didalam kitab Musnad ini berbeda dengan kitab-kitab Shahih dan Sunan yang mana didalam kitab ini menggunakan nama sahabat bukannya menggunakan bab-bab. Didalam kitab ini sahabat Abu Hurairah menduduki peringkat atas dalam periwayatan hadits terbanyak karena kurang lebih ¾ dari kitab Musnad jilid 2 terdapat hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Dan banyak juga sahabat yang hanya meriwayatkan satu hadits saja. Jadi, didalam penyusunan kitab ini yaitu menggunakan nama-nama sahabat dalam fihrisnya atau daftar isinya.

5. Nilai kualitas hadits

Para ulama sendiri berbeda pendapat menyangkut kualitas hadits-hadits yang terdapat dalam Musnad Ahmad. Secara umum, pendapat-pendapat mereka dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok.

1. Ulama yang berpendapat bahwa semua hadits Musnad bisa dijadikan hujjah. Abu Musa al-Madîni termasuk mereka yang berpendapat seperti ini.

2. Ulama yang berpendapat bahwa di dalam Musnad terdapat hadits-hadits sahih, dha’if, bahkan mawdhu’. Ibn al Jawzi dan al ’Iraqi termasuk para ulama dalam kelompok kedua ini.

3. Para ulama yang berpendapat bahwa selain mengandung hadits-hadits sahih, Musnad juga mengandung hadits-hadits dha’if yang mendekati kualitas hasan. Di antara mereka terdapat al-Dzahabi, Ibn Hajar al-’Asqalani, Ibn Taymiyah dan al-Suyuthi.

6. Kitab-kitab syarahnya

a. Syamsudin Moh. Bin Yusuf Al Jazuri judul kitab : Al Musnad Al Ahmad fima yata’allaqu bin musnad ahamd.

b. Syarah Abi Hasan Al Abdul Hadi

c. Syarah Syekh Ahmad Moh. Syakir

d. Bulughu Alamani Asrar Al Fath Al Sabbani ditulis oleh Syekh Abdurrahman Al Banna terkenal dengan gelar Al Sa’ati

7. Ciri utama dan karakteristik

Adapun yang menjadi ciri utama dan karakteristik Musnad Imam Ahmad jika dibandingkan dengan kitab-kitab Hadits yang lain, yaitu;

a. Metode penghimpunan menggunakan nama-nama sahabat, sedangkan kitab-kitab hadits yang lain menggunakan bab atau tema sesuai isi kandungan hadits.

b. Kualitas hadits yang ada dalam Musnad mencakup shahih, sunnan dan muwattha'.

c. Ada kemungkinan Musnad ini sangat jarang sekali digunakan sebagai rujukan untuk mengatasi sebuah masalah yang berkaitan dengan fiqh, aqidah dan sebagainya, karena penyusunannya tidak berdasarkan tema, melainkan berdasarkan nama sahabat.

d. Jumlah matan hadits lebih banyak dari kitab-kitab hadits yang lain.

e. Kitab Musnad terdapat banyak pengulangan-pengulangan matan hadits yang berjumlah kurang lebih 10.000 pengulangan, sedangkan dalam kitab lain tidak demikian.

8. Alasan kenapa masuk standar kutubut tis’ah

1. Musnad mencakup semua matan hadits yang terdapat di Shahih, Sunnan dan Muwattha'

2. Sosok Imam Ahmad yang sangat selektif dalam pemilihan perawinya dengan ke-dhabit-an, kejujuran, keadilan dan tidak dusta

9. Kritikan dan pesan

Dalam perjalanan penelitian kitab hadits perdana yang kami lakukan menemukan berbagai macam kendala, diantaranya;

1. Masih rendahnya pengetahuan peneliti

2. Terbatasnya bahan penelitian, sehingga menuntut kami untuk selalu sering ke perpustakaan penyedia bahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar