Jumat, 23 April 2010

Masa Murajjihun

PEMBAHASAN

II.1 Asal Usul Adanya Murajjihun

Pasca Rasulullah SAW wafat, aktifitas ijtihad merupakan trend keilmuan yang berkembang pesat. Keadaannya berfungsi sebagai pelayan umat yang merekomendasikan solusi problematika aktual yang berkembang dengan corak kehidupan tiap generasinya tanpa terlepas dari mainstream syariat. Sehingga lahirlah kekayaan di bidang ilmu fiqh yang tiada taranya dalam sejarah. Iklim keilmuan semacam ini berlangsung hingga pertengahan kurun keempat hijriyah.

Namun setelah kurun keempat hijriyah, ijtihad bukan sekedar teori baku yang telah menjadi awal terpecah belahnya islam, tercabik-cabiknya kesatuan umat dan melemahnya potensi kekuatan yang terjadi saat jumlah mereka semakin besar dalam kuantitas. Masalah ini terjadi karena terbuka lebarnya pintu ijtihad yang disalahgunakan oleh orang-orang yang bukan ahlinya. Aktifitas ijtihad yang menunjukkan gejala mulai terkooptasi oleh politik dan kekuasaan, diposisikan sebagai justifikasi atas kebijakan dan sikap politis para penguasa maupun para lawan politiknya. Akibat dari masalah ini ijtihad hanya sekedar perantara untuk bersembunyi di balik kedok legalitas syari’at.

Setelah terjadi masalah ini, para ulama’ mendeklarasikan tertutupnya pintu ijtihad, untuk menutup pintu masuk sejumlah oknum yang ingin menyalahgunakannya. Dengan tertutupnya pintu ijtihad timbul dampak positif dan negatif, diantara dampak negatifnya yaitu melemahnya gairah keilmuan, stagnasi pemikiran, pudarnya sikap independensi berpikir, dan kecenderungan untuk taqlid. Serta timbul juga perasaan inferioritas dan rendah diri dari sebagian generasi, pencapaian derajat ijtihad adalah hal yang sulit dan tidak mungkin diwujudkan. Mereka beranggapan bahwa kemampuan dan keahlian yang dimiliki tidak akan bisa menyamai prestasi yang dicapai para empat Imam madzhab serta imam mujtahid yang lain. Dengan adanya itu maka setiap orang lebih memilih satu madzhab tertentu yang adakalanya dengan motif kepuasan pribadi, sandaran hidup, atau sekedar sebagai acuan penetapan kebijakan-kebijakan politis taktis.[1]

Secara harfiah, ijtihad adalah suatu ungkapan dari pengerahan daya kemampuan untuk mewujudkan sesuatu yang dituju. Oleh karena itu kosa kata ijtihad hanya digunakan untuk sesuatu yang mengandung beban dan kesulitan. Sedangkan secara terminologis, terdapat beberapa pendefinisian yang diutarakan oleh beberapa tokoh[2].

· Menurut Al-Amudi dan Ibn al-Hajib yaitu pengerahan dalam mendapatkan pengetahuan bertaraf asumtif (zhann) atas hukum-hukum syara’, dengan upaya maksimal dimana kemampuan diri tidak dapat lagi memberikan sesuatu yang lebih dari itu. Dengan pengertian ini, ijtihad hanya belum mencakup pengetahuan bertaraf dzanni, kebenaran qath’i (pasti) belum tercakup didalamnya. Begitu pula pengetahuan bertaraf kebenaran zhanni yang tidak diakui legalitasnya, masih terakomodasi dalam definisi ini.

· Al-Ghazali mengungkapkan bahwa ijtihad adalah pengerahan kemampuan dari seorang mujtahid dalam mencapai keyakinan atas hukum-hukum syara’, definisi ini berkebalikan dengan definisi yang pertama, yakni hanya mengkaitkan ijtihad dengan obyek hukum berdimensi kebenaran pasti, padahal, sebagian besar produk ijtihad adalah pengetahuan bertaraf dzanni.

· Al-Zarkasyi mendefinisikan bahwa ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan dalam menemukan hukum-hukum syari’at berdimensi praktik (amaliyyah) dengan jalan menggalinya dari sumber-sumbernya (istinbath). Definisi ini mengecualikan aktifitas penggalian hukum-hukum syari’at berdimensi keyakinan.

Ijtihad apabila diarahkan pada suatu bentuk penalaran interpretatif, dengan mengutak-atik permasalahan yang multitafsir dan terbuka untuk beragam penafsiran, maka ijtihad dengan pengertian ini hanya mencakup hukum-hukum syari’at berdimensi kebenaran zhanni. Tapi kalau ijtihad dikehendaki dengan makna kemutlakan pencarian dalil (istidlal), maka sah-sah saja ijtihad ini diarahkan pada pencarian kebenaran berdimensi qath’i.[3]

Ijtihad sebagaimana Wahbah Zuhaili katakan adalah nafasnya hukum islam. Oleh karena itu, kalau kegiatan ijtihad berhenti, maka hukum islam juga ikut berhenti pula perkembangannya dan tertinggal oleh kemajuan masyarakat. Alangkah baiknya apabila kegiatan ijtihad itu dinamis, produk-produknya akan jauh lebih maju dari dinamika masyarakat yang ada.

Ada dua penyebab utama yang menuntut pembahasan hukum melewati kajian ijtihad. Pertama yaitu adanya nash-nash dzanni, baik dari sudut dalalahnya yakni nash-nash yang bermakna ganda. Maupun dari sudut wurudnya, yaitu hadits-hadits Nabi yang tidak mutawatir. Kedua, perkembangan dari berbagai fenomena kontemporer yang selalu menuntut jawaban-jawaban yuridis dari para mujtahid dalam hukum islam[4].

Orang yang berijtihad itu dinamakan mujtahid, secara umum mujtahid itu terbagi menjadi dua golongan, yaitu mujtahid ”mustaqil” dan “ghairu mustaqil (tidak mustaqil)”. Mujtahid yang tidak mustaqil ini terbagi lagi menjadi empat tingkatan. Yaitu mujtahid mutlaq yang tidak mustaqil, mujtahid takhrij, mujtahid tarjih, dan mujtahid fatwa.

Mujtahid mustaqil adalah seorang mujtahid yang sangat mandiri dalam melakukan kajian ijtihadnya. Dia berijtihad dengan menggunakan kaidah-kaidah sendiri, dan merumuskan dasar-dasar pemikiran yang menjadi asas dalam perumusan kaidah-kaidahnya itu. Mereka ini adalah para mujtahid salaf yang telah melahirkan madzhab-madzhab fiqih.

Mujtahid mutlaq yang tidak mustaqil adalah mereka yang memiliki kriteria-kriteria diatas, akan tetapi tidak melahirkan kaidahnya sendiri, dia hanya mengikuti kaidah imamnya. Mereka juga sering melakukan kritik terhadap fatwa hukum imam-imamnya. Lain halnya dengan mujtahid takhrij yaitu mereka yang sangat terikat dengan kaidah imamnya serta menyelesaikannya dengan berbagai furu’, mereka tidak melakukan kritik fatwa imamnya dan tidak juga melahirkan kaidah yang baru.

Mujtahid fatwa adalah mereka yang cukup menguasai kaidah-kaidah ushul fiqh sehingga pengaplikasiannya itu tidak tampak terhadap furu’, maksudnya tidak mahir dalam bentuk perbuatan furu’. Mujtahid tarjih adalah orang yang menguasai ilmu fiqh dengan baik yaitu menguasai madzhab imamnya beserta dalil-dalilnya, bisa mengaplikasikan kaidah-kaidah fiqhnya serta mandiri dalam melakukan kajian ijtihadnya. Di lain sisi mereka juga bukan seorang mujtahid yang terikat dengan kaidah imamnya. Oleh karena itu mereka banyak melakukan tarjih (menguatkan) terhadap pendapat Imam madzhab dan tokoh-tokoh disekitarnya. Apabila terdapat dua dalil yang bertentangan dan sama kuatnya, maka harus diambil jalan tarjih (menguatkan suatu dalil). [5]

Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa faktor terjadinya Murajjihun adalah :

a. Adanya dua dalil yang bertentangan yang sama kuatnya antara yang satu

dengan yang lain dan membutuhkan pentarjihan.

b. Munculnya sikap fanatik buta terhadap suatu madzhab sehingga menjadikan

sikap kebekuan berfikir.

c. Munculnya gerakan taqlid, sehingga aktifitas ijtihad terhenti karena para

muslimin hanya mengikuti pendapat para Imam madzhab tanpa mengkaji

ulang.

II.2 Pengertian Murajjihun dan Tarjih

Murajjihun ialah orang yang mampu mentarjih (menganggap kuat) suatu pendapat bagi Imam madzhab terhadap pendapat lainnya (menguatkan pendapat antara Imam madzhab dengan pendapat muridnya ataupun Imam lain).

Yang termasuk dalam tingkatan ini :

a. Al-Kaduri dan Al-Marginari dari madzhab Hanafi

b. Al-Allamah Khalil dari madzhab Maliki

c. Ar-Rafi’i An-Nawawi dari madzhab Syafi’i

d. Al-Qadhi Alauddin Al-Muraddi dan Mahfudz bin Ahmad Al-Kaluzani dari

madzhab Hambali[6]

Menurut bahasa, kata “tarjih” berasal dari “Rajjaha” yang berarti memberi pertimbangan lebih dari pada orang lain. Menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam memberikan rumusan tarjih. Sebagian besar ulama Hanafiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah memberikan rumusan bahwa tarjih itu perbuatan mujtahid, sehingga dalam kitab Kasyf’-u ‘I-Asrar disebutkan bahwa tarjih itu :

تقدم المجتهد أحد الطريقين المعارضين لما فيه من مزية معتبرة تجعل العمل به أولي من الآخر

Usaha yang dilakukan oleh Mujtahid untuk mengemukakan satu diantara dua jalan yang bertentangan, karena adanya kelebihan yang nyata untuk dilakukan tarjih itu”.

Dalam penjelasan kitab tersebut dikatakan bahwa mujtahid yang mengemukakan satu dari dua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, karena adanya keterangan, baik tulisan, ucapan, maupun perbuatan yang mendorong mujtahid untuk mengambil yang mempunyai kelebihan dari pada yang lain.[7] Dalam referensi lain disebutkan bahwa secara etimologis kata “at-Tarjih” adalah bentuk masadar dari kata “Rajjaha” artinya mengunggulkan sesuatu dengan berlebihan dan memenangkannya. Sedangkan menurut istilah, dalam memberikan pengertian tarjih para ahli fiqih berbeda pendapat. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan pendapat mereka mengenai eksistensi tarjih.

Kelompok Pertama : Tarjih adalah hasil pemikiran para mujtahid. Ada beberapa definisi tarjih menurut beberapa tokoh, sebagai berikut:

1) Ar-Razzi mendefinisikan tarjih sebagai berikut :

تقوية احد الطريقين على الا خر ليعلم الاقوى فيعمل به ويطرح الاخر

“menguatkan salah satu dalil atas lainnya agar dapat diketahui mana dalil

yang lebih kuat untk diamalkan dan menggugurkan dalil lainnya”.

Definisi ini mengandung beberapa kelemahan, yaitu:

a. Dalam definisinya Ar-Razzi lupa menyebutkan mujtahid, padahal

mujtahidlah yang melakukan tarjih (menjelaskan dalil yang kuat dan dalil

yang lemah).

b. Ar-Razzi dalam definisinya menggunakan kata “menguatkan”, sebenarnya

tarjih adalah hak mutlak syar’i (Allah SWT). Andaikan dia mengatakan

tarjih adalah menguatkan atau menampakkan kekuatan salah satu dalil.

Maka akan lebih baik, karena peranan mujtahid akan lebih tampak.

2) Al-Baidhawi mendefinisikan tarjih sebagai berikut:

تقوية احدى الامارتين ليعمل بها

“menguatkan salah satu tanda (dalil) untuk dapat diamalkan”.

Definisi ini juga mengandung beberapa kelemahan, yaitu:

a. al-Baidhawi tidak menyebutkan kata-kata mujtahid dalam definisinya.

b. membatasi berlakunya tarjih hanya pada dalil-dalil yang bersifat dzanni,

padahal yang benar adalah pendapat yang menyatukan, bahwa tarjih adalah

dilakukan pada dalil-dalil yang bersifat qath’i dan dzanni.

3) An-Nasafi mendefinisikan kata tarjih dalam kitab “Kasyf al-Asrar” sebagai

berikut:

اظهار الزيا د ة لاحد المثلين على الاخر وصفا لا اصلا

“Menampakkan nilai lebih salah satu dari dua dalil yang sama

(kekuatannya) dari segi sifat (karaker) nya, bukan asalnya”.

Definisi ini mengandung beberapa kelemahan, diantaranya:

a. An-Nasafi tidak menyebutkan kata-kata mujtahid dalam definisinya.

Padahal menurutnya, mujtahidlah yang melakukan tarjih. Seandainya ia

mendefinisikan “Tarjih ialah penjelasan mujtahid terhadap dalil-dalil yang

kuat dan dalil-dalil yang lemah....” niscaya akan lebih baik.

b. Definisi ini juga mengecualikan tarjih yang dilakukan karena banyaknya

dalil pendukung atau karena adanya kesesuaian salah satu dari dua dalil

yang saling bertentangan dengan dalil ketiga, baik dari al-Qur’an maupun

Hadits, sekalipun tarjih berdasarkan dua unsur ini diakui oleh mayoritas

ulama’.

Kelompok Kedua : berpendapat bahwa tarjih adalah karena karakteristik dalil itu sendiri. Dalam kaitannya dengan pendapat ini, kami memilih definisi-definisi tarjih sebagai berikut :

1) Al-Amidi mendefinisikan tarjih sebagai berikut :

اقتران احد الصالحين للدلا لة على المطلوب مع تعارضهما بما يوجب العمل به واهمال الاخر

“Membandingkan salah satu dari dua dalil yang patut dijadikan dasar

hukum yang saling bertentangan berdasarkan sesuatu yang

mengharuskannya untuk diamalkan dan menggugurkan dalil lainnya”.

Al-Amidi juga menjelaskan bahwa tarjih boleh dilakukan setelah terbukti ada pertentangan. Pertentangan tersebut tidak akan terwujud jika tidak ada kepatutan antara dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut atau tidak adanya kepatutan pada salah satu dari dua dalil yang saling bertentangan.

Dari penjelasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

a. Al-Amidi menjadikan (اقتران) (perbandingan) dalam bagian definisinya.

Padahal hal tersebut merupakan sifat dalil. Pendapat yang benar adalah

pendapat yang menyatakan bahwa tarjih adalah hasil perbuatan atau

pemikiran para mujtahid saja.

b. Kalimat (بما يوجب العمل) mengecualikan dalil-dalil dzanni yang telah

ditarjih.

c. Lafadz (ما) yang terdapat dalam kalimat (بما يوجب العمل) bersifat umum.

Artinya, lafadz tersebut mencakup seluruh alasan-alasan tarjih.

d. Kalimat (واهمال الاخر)mengecualikan tarjih yang dilakukan pada salah satu

dalil yang tidak dimaksudkan untuk meninggalkan (tidak mengamalkan)

dalil lainnya, lagi pula kalimat tersebut tidak diperlukan dalam sebuah

definisi.

2) Ibnu Hajib mendefinisikan tarjih sebagai berikut :

اقتران الامارة بما تقوى به على معا رضها

“Membandingkan dalil dzanni dengan berdasarkan sesuatu yang

menguatkan atas dalil yang menentangnya”.

Kalimat (اقتران الامارة) tidak mencakup perbandingan selain dalil dzanni, yaitu dalil qath’i. Karena Ibnu Hajib berpandangan bahwa tarjih tidak boleh dilakukan pada dalil-dalil yang bersifat qath’i

Dari definisi diatas dapat diketahui beberapa kelemahan, yaitu:

a. Ibnu Hajib menjadikan (اقتران) dalam definisinya. Padahal (اقتران) adalah

sifat suatu dalil dan tarjih adalah hasil perbuatan atau pemikiran para

mujtahid.

b. Ibnu Hajib membatasi terjadinya tarjih hanya pada dalil-dalil yang bersifat

dzanni. Padahal tarjih juga dapat dilakukan antara dalil-dalil yang bersifat

qath’i

Dari penjelasan-penjelasan diatas, jelaslah bahwa tarjih merupakan hasil perbuatan atau pemikiran para mujtahid saja. Bukan karena adanya sifat yang terkandung pada suatu dalil. Seorang mujtahid mengkaji dalil-dalil yang saling bertentangan, kemudian dia menjelaskan dalil yang lebih unggul karena adanya sesuatu yang mngunggulkannya berdasarkan alasan tarjih yang benar. Tarjih tidak hanya dapat dilakukan pada dalil-dalil yang bersifat dzanni saja, melainkan dapat dilakukan pada dalil-dalil yang bersifat Qath’i. Tujuan tarjih adalah agar seseorang dapat mengamalkan dalil yang dipandangnya unggul.[8]

Orang tidak bisa melakukan tarjih apabila orang tersebut tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad, seperti:

1. Seorang mujtahid harus mengetahui dan memahami makna ayat-ayat

hukum, baik makna semantik maupun konotasi hukumnya.

2. Seorang mujtahid juga harus mengetahui dan memahami makna hadits

hadits hukum, baik makna semantik maupun konotasi hukumnya

sebagaimana ayat-ayat hukum.

3. Seorang mujtahid harus mengetahui ayat-ayat yang mansukh dan yang

menasakhnya, sehingga dia tidak berpegang pada dalil yang secara hukum

sudah tidak terpakai lagi.

4. Seorang mujtahid harus mengetahui ketentuan-ketentuan hukum yang telah

ditetapkan lewat ijma’.

5. Mengetahui dan menguasai metodologi qiyas dengan baik.

6. Seorang mujtahid harus memahami bahasa arab dengan baik dan benar.

7. Seorang mujtahid harus menguasai kaidah-kaidah ushul fiqh dengan baik,

dan bahkan ia juga harus menguasai dasar-dasar pemikiran yang mendasari

rumusan-rumusan kaidah tersebut.

8. Seorang mujtahid harus memahami maqasid al-Syari’ah, karena maqasid

al-Syari’ah itu merupakan tujuan akhir yang hendak dicapai lewat

pelaksanaan hukum-hukum islam.

Kriteria ideal ini merupakan rumusan yang diangkat sesuai dengan beban ijtihad yang cukup berat itu. Oleh karena itu, Wahbah Zuhaily menyatakan bahwa kriteria-kriteria di atas adalah kriteria untuk seorang mujtahid mutlaq. Dan bukan mujtahid pada umumnya. Namun, setidaknya mujtahid-mujtahid yang bukan mujtahid mutlaq juga harus mempunyai kualifikasi kemampuan yang mengacu pada kriteria-kriteria di atas.[9]

II.3 Tugas Pokok Majlis Tarjih

a. Menyelidiki dan memahami ilmu agama islam untuk memperoleh

kemurniannya.

b. Menyusun tuntunan Aqidah, Akhlaq, Ibadah dan Muamalah Dunyawiyyah.

c. Memberi fatwa dan nasihat, baik atas permintaan maupun tarjih sendiri

dipandang perlu.

d. Menyalurkan perbedaan pendapat atau faham dalam bidang keagamaan ke

arah yang lebih maslahat.

e. Mempertinggi mutu lama.

f. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh pimpinan

perserikatan.[10]

II.4 Pandangan Para Ulama’ Terhadap Dalil Yang Lebih Unggul

Para ahli ushul berselisih pendapat mengenai pengamalan dalil yang lebih unggul. Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu sebagai berikut:

1. Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa mengamalkan dalil yang lebih

unggul adalah wajib bila dihubungkan dengan adanya dalil yang tidak

unggul (lemah), karena dalil yang lemah tidak boleh diamalkan, baik

pengunggulan (tarjih) tersebut secara qath’i maupun dzanni. Dasar-dasar

mereka adalah sebagai berikut :

a. Para sahabat sepakat untuk mengamalkan dalil yang lebih unggul.

menurut pendapat mereka, wajib mengutamakan dalil yang lebih unggul dari dua dalil dzanni yang saling bertentangan jika ada unsur yang mengutamakannya.

b. apabila dalil yang lebih unggul tidak di amalkan, maka sudah pasti

dalil yang lemah yang diamalkan. Mengamalkan dalil yang lemah dan meninggalkan dalil yang lebih unggul adalah hal yang dilarang menurut akal.

c. Apabila salah satu dari dua dalil yang saling bertentangan lebih

unggul, maka berdasarkan orang-orang yang berakal sehat dalil yang lebih unggullah yang wajib diamalkan. Karena akal akan mendahulukan untuk mengamalkan dalil yang lebih unggul dari pada dalil yang lemah. Adapun dasar hukumnya adalah karena pemberlakuan hukum-hukum syara’ itu juga dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat.

2. Sebagian ulama ushul berpendapat bahwa tidak diperbolehkan

mengamalkan dalil yang lebih unggul. Apabila terdapat pertentangan antara beberapa dalil, maka kita diperbolehkan untuk memilih salah satunya sebagai dasar beramal atau tidak mengamalkan dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut sama sekali. Adapun dasar argumentasi mereka adalah sebagai berikut :

a. Firman Allah SWT:

فاعتبروا يااولى الابصا ر

“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”.

Ayat ini memerintahkan kita untuk mengambil atau menjadikan suatu kejadian sebagai peringatan secara mutlak tanpa harus ada penjelasan atau penelitian terlebih dahulu. Berdasarkan ayat ini, maka tidak ada alasan untuk mewajibkan mengamalkan dalil yang lebih unggul dan tidak mengamalkan dalil yang tidak unggul (lemah).

b. Sabda Rasulullah SAW :

امرت ان احكم بالظواهر والله يتولى بالسرائر

“saya diperintahkan untuk menghukumi lahiriahnya, dan Allah yang menghukumi hal-hal yang non lahiriyah (bathiniyah)”.

Tidak diragukan lagi bahwa dalil unggul adalah termasuk hal-hal yang bersifat lahiriyah. Oleh karena itu, ia dapat diamalkan.

Menurut pemahaman yang benar. Sebenarnya hadits tersebut menunjukkan bolehnya mengamalkan sesuatu yang bersifat lahiriyah. Lahiriyah adalah sesuatu yang lebih unggul salah satu seginyadari pada lainnya. Apabila terdapat dalil yang lebih unggul, maka dalil kuat yang menentangnya sudah dipandang tidak unggul (kuat) lagi.

c. sesungguhnya dalil-dalil yang bersifat dzanni yang saling bertentangan tidak lebih jauh dari masalah adanya bukti-bukti yang saling bertentangan. Tarjih terhadap bukti-bukti tidak diakui (diperbolehkan). Empat orang yang memberikan kesaksian tidak boleh lebih di utamakan daripada dua orang yang memberikan kesaksian. Bila tarjih dalam masalah bukti-bukti yang saling bertentangan tidak diakui, maka tarjih terhadap dalil-dalil yang saling bertentangan juga tidak diakui.

Dalam hal ini, mayoritas ulama’ menyanggah bahwa tarjih dalam masalah bukti-bukti yang saling bertentangan tidak dilarang. Menurut mereka, kesaksian empat orang dapat emngalahkan kesaksian dua orang. Jika kami menerima pendapat yang melarang tarjih dalam masalah kesaksian yang saling bertentangan, maka sebenarnya pendapat tesebut adalah berdasarkan kesepakatan (ijma’) para sahabat. Sebenarnya yang diperbolehkan menurut ijma’ sahabat adalah tarjih antara dalil-dalil yang saling bertentangan bukan tarjih antara bukti-bukti yang saling bertentangan.[11]

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan, bahwa pentarjihan ini dilakukan untuk memperjelas suatu masalah yang sebelumnya belum mempunyai hukum yang jelas atau masalah tersebut mempunyai dua hukum yang berlainan, sehingga akan dipilih salah satu hukum yang paling kuat.

II.5 Unsur-unsur Tarjih

Ketentuan ulama ushul menetapkan, bahwa tarjih akan terpenuhi dengan adanya unsur-unsur : pertama, adanya dua dalil. Kedua, adanya sesuatu yang menjadikan salah satu dalil itu lebih utama dari yang lain. Sedangkan dua dalil itu diisyaratkan:

a. Bersamaan martabatnya

b. Bersamaan kekuatannya

c. Keduanya menetapkan hukum yang sama dalam satu waktu.

Mengenai sesuatu yang menjadikan salah satu dalil itu lebih utama dari yang lain, dijabarkan oleh ulama ushul secara panjang lebar dan mendetail.[12]

a. Aspek Pentarjihan

Kalau dilihat dari uraian ahli ushul, dapat dikemukakan aspek tarjih untuk dalil mangul dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Dari Segi Sanad

Apabila terjadi pertentangan antara dua hadits, tetapi sanad salah satunya mutthasil sedangkan yang lain mursal, maka harus di dahulukan yang mutthasil. Pendapat ini menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah.

Apabila salah satunya terdapat kedha’ifan dalam sebagian besar perawinya, sedang yang lain tinkat perawinya adil, maka yang didahulukan adalah perawi yang adil. Apabila salah satunya mutawatir sedang yang lain adalah ahad, maka yang didahulukan adalah mutawatir dan dianggap dha’if yang tidak mutawatir. Karena hadits ahad tidak bisa menentang hadits mutawatir mengingat hukum yang ditetapkan berdasar hadits mutawatir menempati apa yang dikenal secara dharuri dalam agama.

2. Dari Segi Matan atau Ijma’

Tarjih menurut analisa matan adalah:

a. yang mufassar didahulukan dari yang nash

b. yang nash didahulukan dari yang dhohir

c. dilalah ‘ibarat didahulukan dari dilalah ‘isyarat

d. dilalah ‘isyarat didahulukan dari dilalah nash

e. dilalah nash didahulukan dari ‘iqtidha’

Apabila di dalam nash dan didalam sanad tidak didapati yang murajjih (mengungguli), maka sebagian ulama’ berpendapat tawaquf (tidak diamalkan keduanya). Tetapi sebagian terbesar ulama’ berpendapat bahwa nash menunjukkan haram didahulukan dari nash yang menunjukkan halal, untuk berhati-hati dalam urusan agama.

3. Dari Segi Riwayat

Apabila dua hadits yang bertentangan itu sama martabatnya dan sama kekuatan sanadnya, tetapi salah satunya diriwayatkan sahabat yang faqih, maka diunggulkan hadits yang diriwayatkan sahabat faqih (menurut Abu Hanifah). Sedangkan menurut Malik diunggulkan hadits yang diamalkan oleh penduduk Madinah. Tetpi imam lain dari mereka ini berpendapat bahwa yang diunggulkan adalah hadits yang kuat riwayatnya.[13]

Pentarjihan juga dapat dilakukan dengan dalil umum daripada dalil yang bertentangan yang dikenal dengan pembahasan ta’arudh dan tarjih. Dalam prmbahaan tersebut pentarjihan dilakukan dari satu dalil yang satu dengan dalil yang lain sehingga yang digunakan hanya satu dalil yang lebih kuat. Sistematika yang digunakan adalah dengan cara mengetengahkan inti permasalahan yang dilandasi sebuah dalil yang bersumber dari Al-Qur’an atau Hadits. Kemudian dicantumkan perbedaan ulama’ dalam permasalahan tersebut, setelah itu dicantumkan pendapat ulama’ yang rajah atau kuat untuk dijadikan satu pegangan dalam menentukan dalil.

b. Pentarjihan Hadits-Hadits

Mentarjih hadits, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dapat dilakukan dengan berbagai cara (metode). Cara-cara tersebut tergantung pada kajian dan ijtihad para mujtahid. Adapun mentajih beberapa hadits sebagaimana telah disebutkan oleh para ahli ushul mempunyai tujuh dasar tarjih, yaitu sebagai berikut:

1. tarjih berdasarkan keadaan perawi

2. tarjih berdasarkan usia rawi

3. tarjih berdasarkan tata cara periwayatan

4. tarjih berdasarkan waktu periwayatan

5. tarjih berdasarkan redaksi

6. tarjih berdasarkan kandungan hukum

7. tarjih berdasarkan unsur-unsur eksternal

Kami akan membahas ketujuh dasar tarjih tersebut secara berurutan.

1. Tarjih Berdasarkan Keadaan Perawi

Tarjih berdasarkan keadaan rawi ini mempunyai beberapa ketentuan, diantaranya yaitu:

a. Tarjih berdasarkan jumlah rawi

dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu:

1. mayoritas ulama berpendapat bahwa hadits yang mempunyai rawi yang

paling banyak dapat diunggulkan, karena hadits-hadits tersebut dipandang

lebih jauh dari prasangka-prasangka, sehingga lebih dekat pada kebenaran.

Kemungkinan terjadinya salah atau lupa pada orang (rawi) yang banyak

lebih kecil daripada terjadinya hal-hal tersebut pada orang (rawi) yang

sedikit. Hadits masing-masing rawi dari sekelompok rawi hadits adalah

bersifat praduga. Bila praduga-praduga tersebut terkumpul menjadi banyak,

maka akan semakin menjauhkannya dari keragu-raguan dan dekat pada

keyakinan.

2. mayoritas ulama hanafiyah berpendapat bahwa tarjih (pengunggulan) tidak

boleh dilakukan berdasarkan banyaknya jumlah rawi hadits. Yang dijadikan

dasar penilaian dalam masalah rawi hadits adalah keadilan (kebaikan moral)

bukan banyaknya jumlah rawi. Keadilan itu sama saja, baik pada jumlah

perawi yang sedikit maupun jumlah perawi yang jumlahnya banyak.

Kelompok perawi yang jumlahnya sedikit serta adil itu lebih utama (baik)

daripada kelompok perawi yang jumlahnya banyak tetapi berlaku durhaka

(maksiat).

3. Al-Ghazali berpendapat bahwa rawi suatu hadits yang jumlahnya banyak

memang dapat menjauhkan suatu hadits dari berbagai prasangka, namun

banyak dijumpai seorang rawi yang adil dan lebih tsiqah daripada dua rawi.

Yang menjadi dasar dalam hal ini adalah tergantung pada penilaian para

mujtahid sendiri. Apabila menurut penilaian mujtahid suatu hadits yang

diriwayatkan oleh seorang rawi itu lebih patut untuk diunggulkan daripada

hadits lainnya yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih banyak, maka ia pun

dapat mengunggulkannya. Namun bila sebaliknya, maka iapun dapat

berbuat sebaliknya pula. Semuanya tergantung pada penilaiannya.

b. Tarjih berdasarkan keluhuran sanad

yang dimaksud dengan keluhuran sanad adalah sedikitnya perantara antara rawi dengan Nabi SAW. Apabila salah satu hadits lebih sedikit perantaranya daripada hadits lainnya. Maka hadits tersebut lebih sedikit mengandung kemungkinan salahnya. Hadits yang diriwayatkan oleh tabiin lebih diunggulkan daripada hadits yang diriwayatkan oleh tabiit tabiin. Ini berdasarkan pendapat mayoritas ulama’. Berbeda dengan ulama-ulama hanafiyah. Mereka berpendapat bahwa tarjih tidak boleh dilakukan berdasarkan pada sedikitnya perantara. Terkadang sedikitnya perantara banyak (sering) lupa dan lemah pemehaman terhadap maksud hadits dan perantara yang banyak mempunyai kekuatan hafalan dan kebenaran. Yang dijadikan dasar tarjih adalah pengetahuan agama dan kekuatan daya hafal seorang rawi, bukan berdasarkan sedikit atau banyaknya perantara.

c. Tarjih berdasarkan kefaqihan rawi

Hadits yang rawinya ahli fiqh lebih diunggulkan daripada hadits yang rawinya bukan ahli fiqh. Karena orang yang ahli fiqh dapat membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Apabila ia menghadiri majelis pengajaran hadits dan mendengarkan suatu hadits yang tidak boleh dipahami secara lahiriyah, maka ia akan mengkajinya kembali dan menanyakan latar belakang dan sebab datangnya. Dia akan mengkaji sesuatu yang belum jelas. Berbeda dengan orang yang bukan ahli fiqh. Karena orang yang ahli fiqh lebih mengetahui terhadap petunjuk-petunjuk lafadz (dalil).

d. Tarjih berdasarkan pengetahuan rawi dalam bahasa arab

Hadits yang rawinya mengerti (pandai) bahasa arab lebih diunggulkan daripada hadits yang rawinya tidak mengerti (pandai) bahasa arab. Karena rawi yang mengerti bahasa arab lebih mengetahui arti lafadz-lafadz hadits sehingga dapat menghindarkannya dari berbagai kesalahan.

e. Tarjih berdasarkan kelebihan pengetahuan dalam bidang ilmu fiqh dan bahasa arab

Hadits yang rawinya lebih ahli dalam bidang fiqh dan bahasa arab lebih diunggulkan daripada hadits yang pengetahuan rawinya dalam ilmu fiqh dan bahasa arab biasa-biasa saja. Karena rawi tsiqah yang lebih ahli dalam bidang fiqh dan bahasa arab lebih sempurna.

f. Tarjih berdasarkan kesempurnaan akidah rawi

Hadits yang rawinya berafiliasi sunni serta ittiba’ terhadap sunnah lebih diunggulkan daripada hadits yang rawinya berafiliasi non sunni serta ahli bid’ah (mubtadi’).

g. Tarjih berdasarkan rawi sebagai pelaku peristiwa

Hadits yang rawinya adalah pelaku peristiwanya sendiri lebih diunggulkan daripada hadits yang rawinya bukan pelaku peristiwanya sendiri.

h. Tarjih berdasarkan senioritas rawi

Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat senior lebih diunggulkan daripada hadits yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat yunior. Karena kekuatan rasa keagamaan dan kedudukan mereka yang tinggi akan mencegahnya berbuat dusta. Lagi pula, biasanya mereka lebih dekat dengan Rasulullah SAW.

i. Tarjih berdasarkan kedhabitan rawi

Dhabit ialah kesungguhan dalam memperhatikan hadits. Apabila salah seorang rawi lebih memperhatikan suatu hadits daripada rawi lainnya, maka hadits yang diriwayatkannya lebih diunggulkan daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tidak begitu memperhatikan suatu hadits, karena ia dapat dipercaya.

j. Tarjih berdasarkan kemasyhuran sifat adil dan tsiqah rawi

hadits yang diriwayatkan oleh rawi yan terkenal keadilan dan ketsiqahannya lebih diunggulkan daripada hadits yang rawinya tidak terkenal keadilan dan ketsiqahannya.

2. Tarjih Berdasarkan Usia Rawi

Seorang rawi yang tidak pernah meriwayatkan suatu hadits kecuali pada masa dewasa, maka haditsnya lebih diunggulkan atau diutamakan daripada haditsnya seorang rawi, dimana ia tidak pernah meriwayatkan suatu hadits kecuali pada masa kecilnya atau hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada masa dewasa itu lebih diunggulkan daripada hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada masa kecilnya. Karena kedewasaan itu dapat menimbulkan daya hafalyang kuat. Berbeda dengan hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada masa dewasanya.

3. Tarjih Berdasarkan Tata Cara Periwayatan

Tarjih berdasarkan tata cara periwayatannya ini mempunyai beberapa ketentuan sebagai berikut:

a. apabila salah satu dari dua hadits yang saling bertentangan disepakati kemarfu’annya (sampai pada Nabi), sedangkan hadits lainnya masih diperselisihkan marfu’nya atau disepakati mauqufannya (terputus hubungannya dengan Nabi), maka yang harus lebih diunggulkan adalah hadits yang telah disepakati kemarfu’annya.

b. apabila salah satu dari dua hadits yang saling bertentangan juga menyebutkan sebab al-wurud, sedangkan hadits lain tidak menyebutkannya, maka hadits yang menyebutkan sebab datangnya lebih diunggulkan daripada hadits yang tidak menyebutkannya.

c. apabila salah satu dari dua hadits yang saling bertentangan menggunakan “riwayat bi al-lafdzi” sedangkan hadits lain menggunakan “riwayat bi al-makna”, maka yang harus diunggulkan adalah “riwayat bi al-makna”.

d. apabila seorang rawi menerima suatu riwayat dari orang yang diakui periwayatannya, maka haditsnya tersebut lebih diunggulkan daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang menerima hadits tersebut dari orang yang tidak diakui periwayatannya.

e. apabila salah satu dari dua hadits yang saling bertentangan adalah hadits musnad sedangkan lainnya adalah hadits mursal, maka hadits musnad harus lebih diunggulkan daripada hadits mursal.

4. Tarjih Berdasarkan Waktu Periwayatan

Tarjih berdasarkan waktu periwayatan tergantung pada kandungan

salah satu dari dua hadits yang saling bertentangan yang menjelaskan bahwa

hadits tersebut datang lebih akhir daripada hadits lainnya. Ada beberapa

ketentuan sebagai berikut:

a. hadits yang diriwayatkan di Madinah lebih diunggulkan daripada hadits

yang diriwayatkan di Mekkah.

b. hadits yang menunjukkan keluhuran atau keagungan sikap Rasulullah SAW

lebih diunggulkan daripada hadits yang tidak menunjukkannya.

c. hadits yang mengandung ketentuan hukum yang meringankan lebih

diunggulkan daripada hadits yang mengandung ketentuan hukum yang

memberatkan.

d. hadits yang tidak terkait dengan sejarah awal islam lebih diunggulkan

daripada hadits yang berkaitan dengannya.

e. hadits yang diriwayatkan pada masa akhir hidup Rasulullah lebih

diunggulkan daripada hadits yang sama sekali tidak terkait dengan sejarah.

f. apabila keislaman kedua rawi hadits dalam waktu yang bersamaan, seperti

Khalid bin Walid dan Amr bin Ash, namun salah satunya diketahui bahwa

ia menerima hadits setelah masuk islam dan rawi yang lainnya tidak dapat

diketahui apakah ia menerima hadits sebelum atau sesudah masuk islam,

maka hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang menerima hadits tersebut

setelah masuk islam lebih diunggulkan karena jelas datangnya lebih akhir.

5. Tarjih Berdasarkan Redaksi

Tarjih ini dapat dilakukan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan

berikut ini:

a. apabila salah satu lafadz dari dua hadits yang saling bertentangan tersebut

jelas dan yang lainnya tidak jelas (maksudnya), maka yang lebih

diunggulkan adalah hadits yang lafadznya jelas.

b. apabila dua hadits yang saling bertentangan bersifat ‘am (umum), salah satu

hadits sudah ditakhsis dan lainnya belum ditakhsis, maka dalam hal ini para

ulama’ berbeda pendapat mengenai hadits mana yang harus lebih

diungulkan.

Mayoritas ulama ushul lebih mengunggulkan hadits ‘am (umum) yang

belum ditakhsis daripada lebih mengunggulkan hadits ‘am (umum) yang

telah ditakhsis. Adapun argumentasinya adalah sebagai berikut:

1) hadits ‘am (umum) yang telah ditakhsis itu lemah. Karena ada

perselisihan pendapat diantara para ulama’ tentang kehujjahannya.

Takhsis itu dapat melemahkan redaksi hadits.

2) hadits ‘am (umum) yang telah ditakhsis itu telah hilang

kesempurnaannya, sehingga nampak seperti dalil yang bersifat

majazi (kiasan). Berbeda dengan hadits ‘am (umum) yang belum

ditakhsis. Hadits tersebut tidak hilang kesempurnaannya. Sehingga

eksistensinya masih tetap terpelihara. Hadits yang bersifat hakiki

lebih diunggulkan daripada hadits yang bersifat majazi.

c. apabila petunjuk redaksi salah satu hadits, dari dua hadits yang saling

bertentangan itu bersifat hakiki (lugas) dan penunjukkan redaksi hadits yang

lainnya bersifat majazi (kiasan), maka yang lebih diunggulkan adalah hadits

yang penunjukkannya bersifat hakiki (lugas).

d. hadits yang mengandung hakekat syara’ lebih diunggulkan daripada hadits

yang mengandung hakekat adat istiadat atau hakekat bahasa dalam perintah

syari’ (allah). Karena Nabi diutus untuk menjelaskan hukum-hukum syara’.

e. apabila kedua petunjuk dari dua hadits yang saling bertentangan bersifat

hakiki, namun salah satunya lebih baik dan lebih dikenal daripada yang

lainnya, maka yang lebih baik dan dikenal itulah yang lebih diunggulkan.

6. Tarjih Berdasarkan Kandungan Hukum

Tarjih berdasarkan kandungan hukum ini dapat dilakukan dengan berbagai ketentuan sebagai berikut:

a. apabila terdapat dua hadits yang saling bertentangan, salah satunya

menetapkan hukum berdasarkan hukum asalnya dan lainnya

menggugurkannya, maka dalam hal ini para ulama berselisih pendapat

mengenai hadits yang mana yang harus lebih diunggulkan. Menurut

sebagian ulama’ ushul termasuk ar-Razi dan al-Baidhawi, hadits yang

menetapkan hukum berdasarkan hukum asalnya itulah yang harus lebih

diunggulkan daripada hadits yang mnggugurkannya. Mayoritas ulama’

berpendapat bahwa hadits yang menggugurkan hukum harus lebih

diunggulkan daripada hadits yang menetapkannya.

b. apabila ada dua hadits yang saling bertentangan, salah satunya menetapkan

hukum haram dan lainnya menetapkan hukum ibadah (boleh). Maka dalam

hal ini mayoritas para ulama’ Ushul berpendapat bahwa hadits yang

menetapkan hukum haram lebih diunggulkan dari pada hadist yang

menetapkan hukum ibadah. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa hadist

yang menetapkan hukum ibadah atau halal lebih diunggulkan dari pada

hadist yang menetapkan hukum haram. Abu Hasyim, Isa bin Abban dan Al

Ghazali berpendapat bahwa kedua hadist tersebut dipandang sama kuatnya,

salah satunya tdak dapat lebih diunggulkan.

c. apabila terdapat dua hadist yang saling bertentangan, salah satunya

menetapkan hukum wajib dan hadist ;lainnya menetapkan hukum ibadah,

maka dalam hal ini, hadist yang menetapkan hukum wajib diunggulkan.

7. Tarjih Berdasarkan Unsur-Unsur Eksternal

Yang dimaksud dengan unsur-unsur eksternal adalah unsur-unsur yang terdapat di luar hadist itu sendiri sebagaimana dasar-dasar tarjih yang telah kami sebutkan, yaitu sanad, matan, kandungan hukum, redaksi hadist dan sebagainya. Unsur-unsur tersebut adalah:

a. tarjih berdasarkan dalil pendukung atau penguatnya, sekalipun dalil penguat

tersebut hanya satu. Mayoritas ulama berpendapat bahwa hadist yang

mendapatkan dukungan dalil lain itu lebih diunggulkan dan diamalkan dari

pada hadist yang tidak mendapat dukungan dari hadist lain. Mayoritas

ulama madzhab hanafiyah, bahwa tarjih tidak boleh dilakukan berdasarkan

adanya dalil yang pendukung. Menurut mereka, dalil itu menjadi kuat

karena karakteristik yang terdapat didalamnya sendiri, bukan karena adanya

dukungan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan ahli fiqh

daripada hadist yang diriwayatkan oleh rawi yang adil namun bukan ahli

fiqh.

b. hadits yang sesuai dengan perbuatan mayoritas salaf itu lebih diunggulkan

daripada hadits yang bertentangan dengan perbuatan mayoritas ulama salaf.

Karena ulama salaf lebih dekat dengan kebenaran. Sebagian ulama

berpendapat bahwa perbuatan mayoritas ulama salaf itu tidak dapat

dijadikan dasar tarjih. Karena pendapat dan perbuatan yang mayoritas itu

tidak dipandang sebagai dasar hukum serta wajib diamalkan.

c. hadits yang bersesuaian dengan perbuatan empat khilafah lebih diunggulkan

daripada hadits yang bertentangan dengan perbuatan empat khalifah

tersebut atau lebih mengunggulkan hadits yang sesuai dengan perbuatan

ulama-ulama Madinah daripada hadits yang tidak sesuai dengannya. Karena

ulama-ulama Madinah dipandang lebih mngetahui masalah-masalah hukum.

d. hadits yang sesuai dengan penjelasan rawi baik dengan perbuatan atau

perkataan itu lebih diunggulkan daripada hadits yang tidak disertai dengan

penjelasan atau perkataan dari perawinya. Karena seorang perawi itu

dipandang lebih mengetahui dan mengerti terhadap hadits yang

diriwayatkannya. [14]


BAB III

PENUTUP

Murajjihun ialah orang yang mampu mentarjih (menganggap kuat) suatu pendapat bagi Imam madzhab terhadap pendapat lainnya (menguatkan pendapat antara Imam madzhab dengan pendapat muridnya ataupun Imam lain).

Faktor-faktor munculnya Murajjihun adalah:

1) adanya suatu dalil yang bertentangan yang sama kuatnya antara satu dengan

lainnya yang membutuhkan pentarjihan.

2) Munculnya sikap fanatik buta terhadap suatu madzhab sehingga

memunculkan sikap kebekuan dalam berfikir.

3) Munculnya gerakan taqlid, sehingga aktifitas ijtihad terhenti karena para

muslimin hanya mengikuti pendapat para imam madzhab tanpa mengkaji

ulang.

Menurut bahasa, kata “tarjih” berasal dari “Rajjaha” yang berarti memberi pertimbangan lebih dari pada orang lain.

Syarat-syarat Mujtahid, yaitu:

1. Seorang mujtahid harus mengetahui dan memahami makna ayat-ayat

hukum, baik makna semantik maupun konotasi hukumnya.

2. Seorang mujtahid juga harus mengetahui dan memahami makna hadits

hadits hukum, baik makna semantik maupun konotasi hukumnya

sebagaimana ayat-ayat hukum.

3. Seorang mujtahid harus mengetahui ayat-ayat yang mansukh dan yang

menasakhnya, sehingga dia tidak berpegang pada dalil yang secara hukum

sudah tidak terpakai lagi.

4. Seorang mujtahid harus mengetahui ketentuan-ketentuan hukum yang telah

ditetapkan lewat ijma’.

5. Mengetahui dan menguasai metodologi qiyas dengan baik.

6. Seorang mujtahid harus memahami bahasa arab dengan baik dan benar.

7. Seorang mujtahid harus menguasai kaidah-kaidah ushul fiqh dengan baik,

dan bahkan ia juga harus menguasai dasar-dasar pemikiran yang mendasari

rumusan-rumusan kaidah tersebut.

8. Seorang mujtahid harus memahami maqasid al-Syari’ah, karena maqasid

al-Syari’ah itu merupakan tujuan akhir yang hendak dicapai lewat

pelaksanaan hukum-hukum islam.

Cara-cara mentarjih Hadits, yaitu:

1. tarjih berdasarkan keadaan perawi

2. tarjih berdasarkan usia rawi

3. tarjih berdasarkan tata cara periwayatan

4. tarjih berdasarkan waktu periwayatan

5. tarjih berdasarkan redaksi

6. tarjih berdasarkan kandungan hukum

7. tarjih berdasarkan unsur-unsur eksternal

DAFTAR PUSTAKA

Umar, Abdullah. 2005. Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri: Forum Karya Ilmiah Madrasah Hidayatul Mubatadi-ien)

Badr al-Din Muhammad Bahadir bin abd Allah al-Zarkasyi. 2000. Al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah)

Muhammad bin Muhammad bin Musthafa al-Khadimi, Bariqah Mahmudiyah fi Syarh Thariqah Muhammadiyah, (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah)

Rosyada, Dede. 1993. Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Rajawali Press)

Abdullah, Sulaiman. 1955. Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika)

Djafar, Muhammadiyah. 1993. Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kalam Mulia)

Abdurrahman, Asjmuni. 2007. Manhaj Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)

Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih, (Bangil: Al-Izzah)

Djamil, Fathurrahman. 1995. Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Publishing House)



[1] Abdullah Umar dkk, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri:

Forum Karya Ilmiah Madrasah Hidayatul Mubatadi-ien, 2005) hal 313-315

[2] Badr al-Din Muhammad Bahadir bin abd Allah al-Zarkasyi, Al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqh,

(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000) juz IV hal 488

[3] Muhammad bin Muhammad bin Musthafa al-Khadimi, Bariqah Mahmudiyah fi Syarh Thariqah

Muhammadiyah, (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah) juz I hal 95

[4] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Rajawali Press, 1993) hal 111-114

[5] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1955) hal 117-118

[6] Muhammadiyah Djafar, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993) hal 112

[7] Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hal 4

[8] Muhammad Wafaa, Metode Tarjih, (Bangil: Al-Izzah, 2001) hal 179-188

[9] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Rajawali Press, 1993) hal 115-116

[10] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Publishing

House, 1995) hal 67

[11] Muhammad Wafaa, Metode Tarjih, (Bangil: Al-Izzah, 2001) hal 188-196

[12] Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hal 5

[13] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1955) hal 712

[14] Muhammad Wafaa, Metode Tarjih, (Bangil: Al-Izzah, 2001) hal 196-276

Tidak ada komentar:

Posting Komentar